Di IG @joeliardisunendar tanggal 9 Juli 2022 kemarin, sudah diposting pilihan mana yang sebaiknya diambil untuk menanggapi Tender Offer tersebut. Di bawah ini, diposting kembali Catatan Portfolio pada saat TOWR pertama-kali dimasukan bersama MTEL pada bulan Nopember 2021, yang bisa diakses FREE saat ini.

IPO – MITRATEL, A PICK AND SHOVEL OPPORTUNITY DI SEKTOR TELEKOMUNIKASI

Pick and shovel opportunity, yaitu berinvestasi di sektor produk serta jasa pendukung, sering menawarkan opportunity yang baik.

Berinvestasi pada perusahaan yang menghasilkan produk yang merupakan komponen IPhone menjadi investasi yang sangat menarik, dengan adanya lonjakan penjualan IPhone.

Di JSP ada dua emiten pick and shovel, dengan adanya perbaikan pada sektor pertambangan. Pertama, CVEO, perusahaan Kanada yang listed di Amerika. Namun, unforunately CVEO ini hanya sempat menjadi one-bagger, dan terkena TS sebelum kemudian menjadi two-bagger.

Saham kedua, HEXA, yang tanpa diduga memberikan dividen spesial sebesar Rp 1,175, yang setara dengan 37% dividend yield harga beli HEXA di Rp 3,180. Dengan dividend ini, effective cost HEXA hanya Rp 2,000. Mereka yang menjual 50% sahamnya di harga Rp 4,000, tentunya sudah bisa free-ride. Investasi ini sudah tidak ada cost lagi. Sudah zero.

Namun, karena sektor induknya adalah pertambangan, apabila kegiatan di sektor ini kembali menurun, tentu dapat mempengaruhi pick and shovel opportunity ini. 

Bisnis menara telekomunikasi adalah pick and shovel untuk sektor telekomunikasi, cellphone, internet dan produk turunannya. Berbeda dengan pick and shovel di sektor pertambangan – yang bisa sangat fluktuatif, tergantung harga komoditi – bisnis menara telekomunikasi akan terus berkembang, selama orang masih menggunakan tilpon, internet dan produk turunan-nya. Itu sebabnya, perusahaan menara telekomunikasi di Amerika, struktur perusahaannya berbentuk REIT (Real Estate Investment Trust). 

Arus pendapatannya yang berulang (recurring income), setelah dikurangi Capex, menjadikan perusahaan ini bisa mengembalikan bagian terbesar CFO-nya kepada pemegang saham dalam bentuk dividen. Kriteria ini yang memungkinkan perusahaan ini masuk kualifikasi REIT, sama seperti REITs di sektor lainnya, seperti Hotel REIT, Apartement REIT, Hospital REIT, Mall REIT dan lain sebagainya.

Bisnis menara telekomunikasi adalah bisnis yang sangat capital intensive. Sama seperti terjadi pada e-commerce platform, besarnya kebutuhan modal itu, menjadikan bisnis ini hanya akan dikuasai oleh 2 atau 3 big players saja. Sisanya, terfragmentasi dengan skala bisnis yang kecil, dan mendorong terjadinya konsolidasi, untuk kemudian diakusisi oleh big players. Adanya hal ini, semakin memperlebar moat yang dimiliki big players.

Di Amerika, ada 133 Telcom Tower, dengan jumlah tower sebanyak 130,597 (data Wireless Estimator). Dari jumlah tower sebanyak itu, sekitar 76% (99,759 tower) dikuasai oleh hanya 3 perusahaan saja. Ketiga perusahaan ini merupakan public company, yaitu American Tower, yang memiliki 41,886 menara dengan Market Cap $ 124 Milyar; Crown Castle, 40,567 menara dengan Market Cap $ 78 Milyar, dan SBA Communication, 17,306 menara dengan Market Cap $ 37 Milyar.

Hal yang sama terjadi juga di Indonesia. Berdasarkan informasi ASPIMTEL ada 22 perusahaan menara telekomunikasi, yang memiliki menara sebanyak 85,000. Dari jumlah sebanyak itu, 3 perusahaan terbesar, Dayamitra, TOWR dan ITBG menguasai 90%. Dalam angka ini, termasuk akuisisi di tahun 2021, yang dilakukan TOWR atas SUPR (6,780 tower), akuisisi IBST oleh ITBG (3,000 tower) dan pengambil-alihan tower milik Telkomsel (8,139 tower) oleh Dayamitra.

Atas dasar jumlah tower yang dimiliki, dengan akusisi SUPR, TOWR merupakan pemilik tower terbanyak, 28,161 tower. Market Cap TOWR tercatat Rp 58.5 Trilyun. Daya Mitra, dengan tambahan 8,139 tower yang diakuisisi dari Telkomsel (4,139 pada Kw-I dan 4,000 pada Kw-II) memiliki 26,612 tower. Berdasarkan jumlah saham setelah IPO dan kisaran estimasi harga IPO itu, Market Cap Dayamitra sekitar Rp 75.7 Trilyun. ITBG dengan akuisisi IBST, memiliki 19,265 tower. Saat ini, Market Cap ITBG tercatat Rp 61.9 Trilyun.

EBITDA MARGIN YANG TINGGI

Meskipun sangat capital intensive, bisnis ini sangat menarik karena EBITDA margin dan cash-conversion-nya yang sangat tinggi.

Capital-intensive-nya bisnis ini dapat dilihat dari tingginya ratio Fixed Assets dari Total Assets. 

Untuk Dayamitra, atas dasar LK di Kw-II/2021, ratio Fixed Assets dari Total Assets menunjukan angka 83,5%. Untuk TOWR dan TBIG angkanya masing-masing 82,1% dan 78,2%. 

Pemakaian sumber dana terbesar yang didekasikan untuk pembentukan Fixed Assets ini – dan bisa menghasilkan recurring income – yang dapat dibagikan sebagai dividen untuk pemegang saham, menunjukan karakter khusus dari REIT. Dayamitra di dalam Prospektusnya menyebut, akan mengusulkan nilai dividen dengan Pay Out Ratio 70%.

Dengan struktur permodalan seperti ini – setelah tercapainya skala ekonomis – bisnis menara ini bisa menghasilkan ROE yang tinggi. Dua operator menara terbesar Amerika mencatat ROE 34.48% (American Tower) dan 14.57% (Crown). Di Indonesia, untuk tahun 2020, operator menara ini mencatat ROE 28% (TOWR), 14.74% (TBIG), dan 8.05% (Dayamitra). 

Upaya meningkatkan penggunaan assets yang ada akan bisa meningkatkan recurring income dari Asset tersebut. Untuk bisnis ini, tenancy ratio – perbandingan antara penyewa dan jumlah tower yang dimiliki, menjadi indikasi pertumbuhan recurring income. Tidak berbeda jauh dari metrik occupancy ratio untuk REIT Hotel atau Apartment.   

Atas dasar LK tahun 2020, Tenancy Ratio TOWR mencapai 1.83 X, TBIG 1.95 X. Sementara itu, Dayamitra atas dasar LK Kw-II/2021 mencatat Tenancy Ratio 1.57 X. TOWR setelah akuisisi SUPR tahun 2021 ini, memperkirakan tenancy ratio dapat mencapai 1.9 X. Peningkatan angka Tenancy Ratio dari 1.57 X saat ini ke 1.9 X menjadi target Dayamitra jangka menengah.

EBITDA Margin TOWR dan TBIG di tahun 2020 mencapai angka kurang lebih sama, yaitu 86%. Sementara itu, Dayamitra atas dasar LK Kw-II/2021 angkanya baru mencapai 77%. Tidak heran  salah satu target manajemen, seperti yang ditulis di Prospektus, adalah “mencapai EBITDA margin di atas 80% dalam jangka menengah”. Perbaikan EBITDA Margin ini merupakan faktor sangat penting bagi Dayamitra, agar bisa mencapai efisiensi kinerja manajemen yang sama.

Profit Margin TOWR tercatat 38.3% (2020) dan 42.8% (Kw I/2021), sementara TBIG angkanya 20.1% (2020) dan 23.2% (Kw II/2021). Profit Margin Dayamitra di tahun 2020 mencapai 10.7% di Kw-II/2021 membaik ke angka 21.6%. Perbaikan Profit Margin, seharusnya dapat menjadi prioritas Dayamitra, melalui peningkatan Tenancy Ratio dan EBITDA Margin seperti ditulis di atas. Tingginya profit margin, membuat bisnis tower ini memang sangat menarik. Di Amerika, dua operator terbesar mencatat profit margin 27.45% (American Tower) dan 20.25% (Crown).  

Dari segi tenant, 4 operator telekomunikasi (Telkomsel, Indosat, XL-Axiata dan 3) merupakan penyewa utama menara telekomunikasi. Sekitar 90% penjualan TOWR dan TBIG berasal dari 4-operator besar. Untuk TOWR saat ini XL-Axiata menjadi pelanggan terbesarnya, sementara untuk TBIG, Telkomsel menjadi penyewa utama. Untuk Dayamitra, 96% penjualan berasal daru 4 operator besar ini. Meskipun tidak diungkapkan dalam Prospektus, Telkomsel menjadi penyewa terbesar Dayamitra.

Penjualan TOWR, TBIG dan Dayamitra di tahun 2020 mencapai angka Rp 7.4 Trilyun, Rp 5.3 Trilyun dan Rp 6.2 Trilyun. Untuk Semester I/2021, angkanya masing-masing Rp 3.97 Trilyun (TOWR), Rp 2.97 Trilyun (TBIG), dan Rp 3.22 Trilyun (Dayamitra). Diperkirakan ketiga emiten menara telekomunikasi ini akan mengalami peningkatan penjualan FY 2021 ini dibandingkan FY tahun 2020.

Atas dasar Trailing PE, harga saham TOWR di Rp 1,075 (closing hari Jumat) setara PER 18.06 kali, dan EV/EBITDA 16.02 X. DI harga saham Rp 2,860, Trailing PER TBIG sekitar 51 X, dengan EV/EBITDA 23.7 X (Sumber : YahooFinance).

Sebagai perbandingan, operator telcom-tower terbesar di Amerika (American Tower) saat ini valuasi-nya setara 49.47 X atas dasar Trailing PER, dan EV/EBITDA 28.39 X. Angka Sales (TTM) American Tower mencapai $ 9.3 Milyar, dengan Profit Margin 27.45% dan ROE 34.48%. 

APAKAH DAYAMITRA LEBIH MENARIK DARI KEDUA EMITEN MENARA LAINNYA?

Fakta, bahwa penyewa utama ketiga emiten menara ini adalah sama-sama empat operator terbesar, membuat struktur biaya, margin dan valuasi merupakan faktor yang bisa membantu menentukan pilihan. 

Dari metrik di atas, TOWR menawarkan valuasi yang lebih menarik, dan mencatat penjualan tertinggi. Selain itu, ROE, EBITDA maupun Profit Margin-nya juga merupakan yang tertinggi diantara ketiganya.

Akuisisi yang dilakukan TOWR atas SUPR, dapat mendorong kenaikan penjualan dan tenancy ratio, yang pada gilirannya bisa membantu meningkatkan margin. 

Namun, di sisi lain, akuisisi yang dilakukan ini menimbulkan tambahan hutang di buku TOWR. Akusisi 1.07 Milyar lembar saham SUPR dibayar TOWR dengan harga Rp 16.7 Trilyun. Dengan  menguasai SUPR, maka hutang yang ada di buku SUPR (Rp 7.1 Trilyun), beralih dan menjadi hutang TOWR. Ini menjadi salah-satu contoh, bahwa harga real yang dibayar setiap membeli saham bukanlah Market Cap (Rp 16.7 Trilyun) tetapi Enterprise Value (ditambah nilai hutang, Rp 7.1 Trlyun, dikurangi Saldo Kas, Rp 237 Milyar), real price akuisisi ini sekitar Rp 23.6 Trilyun. 

Dengan Net Asset SUPR yang lebih kecil dari nilai akuisisi, muncul Goodwill Rp 14.1 Trilyun di buku TOWR, yang tentu menjadi tambahan biaya amortisasi.

Selain itu, karena TOWR tidak memiliki kas sebesar Rp 16.7 Trilyun, sebagian besar pembelian itu didanai melaui hutang baru. Hutang TOWR setelah akuisisi meningkat dari Rp 18.1 Trilyun menjadi Rp 41.9 Trilyun, atau naik sekitar Rp 23.8 Trilyun. Kenaikan ini merupakan kombinasi dari Hutang yang ada di buku SUPR yang beralih  menjadi Hutang TOWR (Rp 7.1 Trilyun) serta hutang baru untuk pembelian saham SUPR (Rp 16.7 Trilyun).

Akuisisi ini akan menghasilkan tambahan laba operasi Rp 1.5 Trilyun untuk TOWR – atas dasar laba operasi SUPR tahun 2020. Namun, adanya sinergi dan efisiensi yang timbul dari akuisisi ini diperkirakan bisa meningkatkan tenancy ratio serta EBITDA Margin. 

Pertanyaan berikutnya tentu, apakah tambahan laba operasi dari akuisisi SUPR ini bisa lebih besar dibanding dengan  tambahan biaya bunga serta amoritisasi Goodwill yang muncul? LK TOWR di Kwartal terakhir bisa memberikan informasi soal ini. Namun, yang jelas, akusisi ini meningkatkan Debt To Equity Ratio TWOR dari 1.77 X menjadi 4.76 X. Angka ini lebih tinggi dari TBIG (3.01 X) serta Dayamitra (0.98 X).

Terkait Debt Equity Ratio ini, IPO Dayamitra menjadikan perusahaan ini memiliki posisi terbaik untuk melakukan ekspansi. Dengan tambahan nilai IPO setara Rp 25 Trilyun, Modal Dayamitra naik dari Rp 13.6 Trilyun menjadi Rp 39.6 Trilyun. Pinjaman Dayamitra di Kw-II/2021 tercatat Rp 12.2 Trilyun, dan menjadikan Debt Equity Ratio turun dari 0.98 X menjadi 0.31 X. 

Adanya potensi untuk melakukan ekspansi ini, memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk memperbaiki berbagai metriknya, yang jauh tertinggal dari kedua operator lain seperti disampaikan di atas. Ekspansi organik maupun akuisisi diharapkan bisa memperbaiki Tenancy Ratio, EBITDA dan Profit Margin, ROE yang bisa menjustifikasi valuasi IPO, yang relatif tinggi dibandingkan kinerjanya saat ini – dan dibandingkan dengan 2 operator lainnya.

Mengakusisi tambahan tower dari Telkomsel merupakan pilihan yang sangat memungkinkan untuk dilakukan Dayamitra. Saat ini, setelah 4,000 tower Telkomsel diambil-alih Dayamitra di Kw-III, Telkomsel masih memiliki 7,900 menara. Selain itu, berdasarkan data Analysis Mason, masih ada sekitar 6,700 menara telekomunikasi yang saat ini dimiliki operator berskala kecil.

Diluar prospek akuisisi, longgarnya DER Dayamitra memungkinkan dilakukannya ekspansi itu melalui pembangunan menara baru. Perseroan memiliki pengalaman yang sudah teruji dalam 10 tahun terakhir ini. Di tahun 2010, Dayamitra baru membangun 161 Menara, di tahun 2021 ini jumlah menara yang dibangun sudah mencapai 12,893 menara.

Ke-4 wireless operator besar memiliki jaringan di seluruh Indonesia. Namun begitu, Telkomsel mendominasi berbagai wilayah di luar Jawa. XL, Indosat dan 3 telah mengungkapkan niatnya untuk meningkatkan belanja guna memperkuat jaringan 4G mereka di luar Jawa, yang selama ini tertinggal Telkomsel. Potensi ini memberi peluang kolokasi dari jaringan yang sekarang ini dipakai Telkomsel, yang dimiliki Dayamitra. Di luar Jawa, data Dayamitra di Kw-II menunjukan tenancy ratio masih relatif rendah, 1.47 X. 

Bahkan untuk menara yang baru diambil-alih dari Telkomsel di Kw-III kemarin, tenancy ratio-nya masih 1.0X. Begitu juga menara generasi 2019 yang dibangun perusahaan, tenancy ratio-nya masih 1.07 X, yang masih lebih rendah dari tenancy ratio menara generasi pre-2019, yang berkisar antara 1.59 X – 1.92 X. Kemampuan perusahaan dalam mencapai tenancy ratio ini sebelumnya, menjadi modal kuat untuk bisa mencapai angka yang sama di generasi menara barunya.

Jika mengacu kepada ROE yang mampu dicapai TOWR (28%) dan TBIG (15%), dengan adanya potensi ekspansi dan kuatnya jaringan menara Dayamitra di luar Jawa, cukup realistis untuk mengharapkan Dayamitra mencapai ROE 15%. Angka ROE ini bisa dicapai dengan perbaikan tenancy ratio, dan pada gilirannya perbaikan dalam EBITDA dan Profit Margin.

Tercapainya ROE 15% ini diperkirakan dapat mulai terjadi di tahun 2023. Laba tahun ini dapat mencapai Rp 1.5 Trilyun. Di tahun 2022, secara konservatif laba bisa naik 2 kali lipat menjadi Rp 3 Trilyun, dengan adanya dana IPO. Akumulasi laba dalam 2 tahun, setelah dikurangi angka dividen akan membuat Dayamitra memiliki modal sekitar Rp 41.4 Trilyun. Dengan ROE 15%, laba perusahaan dapat mencapai Rp 6.21 Trilyun, atau setara PER 12 X atas dasar valuasi IPO saat ini. Valuasi yang menarik, dengan adanya prospek pertumbuhan yang sangat tinggi pada 2 tahun ke depan ini, untuk minimum periode investasi 3 tahun.

Business model menara telekomunikasi ini sangat menarik, dan berinvestasi dalam 2 leading players yang akan mendominasi sektor ini, dapat meningkatkan imbal hasil portfolio.

Berinvestasi di TOWR dan Dayamitra – meskipun tidak serupa – seperti membeli saham BBCA dan BBRI di sektor perbankan.

ACTION : Alokasikan dana masing-masing 5% di TOWR dengan maximum harga Rp 1,200 dan 5% di IPO Dayamitra di kisaran harga IPO yang sudah diumumkan (Rp 775 – 975). Gunakan Trailing Stop 40%.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Post