Catatan Webminar, 5 Agustus 2021
Apakah business model seperti Bukalapak, dapat dievaluasi dengan pendekatan Value Investing?
“Remember that stock price are not about the past. They are a prediction of future cash flows discounted back to the present” – Jeff Bezos.
It’s more complicated than a company with long track record. Prepare for a volatility. Berinvestasi di start-up merupakan test terkait masalah waktu dan volatility.
Contoh Grafik Amazon. Jangan dipikir, bahwa perjalanan AMZN mulus dan mencatat kenaikan setiap tahun dengan konsisten, sehingga bisa mencapai 3,590 kali lipat (359,000%).
Excitement awal mendorong kenaikan harga AMZN, dari $ 1.8 (stock-split adjusted) ke $ 53 di akhir tahun 1998, atau naik 2,800%. Euphoria DotCom semakin mendorong kenaikan itu, dan mencapai harga $ 113 pada tanggal 9 Desember 1999. Hanya dalam periode 2 tahun, harga saham AMZN sudah naik 6,000% lebih.
Tidak ada yang pernah tahu, kapan peak itu terjadi. Mereka yang tidak sempat menjual sahamnya, harus menyaksikan penurunan 95% harga AMZN dalam 2 tahun berikutnya. AMZN menyentuh harga $ 6 tanggal 1 Oktober 2021. Sulit membayangkan mereka yang membeli di harga $ 100, masih memegang saham ini saat harganya turun ke $ 6.

Dengan bottom line yang masih negatif, terjadi atau tidak terjadinya “traction” di dalam angka sales, visitors, users serta pengembangan bisnis lain, akan mewarnai pergerakan harga saham di pasar.
Dalam beberapa kasus, menunggu sampai terjadinya konsistensi serta bottom line yang lebih baik, masih tetap memungkinkan untuk dapat memperoleh keuntungan yang baik – meski tidak sebesar seperti kalau investasi itu dilakukan dari sejak awal IPO.
Dalam kasus AMZN, misalnya, mereka yang telat masuk dan baru pada tahun 2009 mulai berinvestasi di AMZN, di kisaran $45 – $100, masih dapat memperoleh keuntungan sangat baik. AMZN untuk pertamakali mencatat laba pada tahun 2003. Di dalam periode 2004 sampai Maret 2007, harga AMZN tidak kemana-mana, dan dalam kisaran $ 40 – $ 50.

Apakah ini berarti say Bye kepada Bukalapak?
Mungkin kita tunda jawabannya.
Seperti ditulis di IG kemarin, Bukalapak berada di posisi ke-4, di bawah Shopee, Tokopedia dan Lazada pada tahun 2020.
Namun data Kwartal I menunjukan gambaran yang sedikit berbeda, dan Bukalapak naik satu tingkat, berganti tempat dengan Lazada yang merupakan kendaraan Alibaba di kawasan Asia Tenggara.
Terjadi peningkatan yang pesat di dalam nilai transaksi e-commerce di Indonesia, dari sekitar 2% di tahun 2006 menjadi 20% di tahun 2020. Di tahun 2020, nilai GMV mencapai $ 40 Milyar. Shopee memimpin di depan, dengan pangsa 37% ($ 14.2 Milyar), diikuti Tokopedia dengan GMV $ 14 Milyar, Lazada, $ 4.5 Milyar dan Bukalapak, $ 3 Milyar.
Dalam Prospektusnya, Bukalapak menyampaikan, bahwa penggunaan TPV (Total Processing Value) lebih tepat dipakai sebagai metrik untuk memberikan gambaran kegiatan usaha Bukalapak. Dalam tahun 2020, TPV mencapai Rp 85 Trilyun ($ 6 Milyar). Angka ini naik 49% dibanding dengan TPV tahun 2019, dan meningkat 200% dari angka tahun 2018.

Angka ini masih berada jauh di bawah GMV Tokopedia. Apalagi kalau Tokopedia menggunakan metrik yang sama, TPV.
Dengan data-data ini, maka jelas keputusan Bukalapak untuk menjadi e-commerce pertama yang mencatatkan sahamnya di BEI merupakan keputusan yang tepat. Jika pemain lebih besar mendahului Bukalapak, dan melakukan IPO-nya terlebih dulu di BEI, posisi Bukalapak mungkin tidak terlalu favorable.
Dalam IPO ini, Bukalapak akan mengeluarkan saham baru sebanyak 25.7 Milyar saham di harga Rp 850. Dengan demikian, maka akan ada penambahan modal Rp 21.8 Trilyun. 66% dana IPO akan dipakai untuk modal kerja, dan sisanya disebar ke beberapa anak perusahaan.
Dengan jumlah saham setelah IPO sebanyak 108 Milyar lembar, maka nilai perusahaan pada saat IPO setara Rp 91.8 Trilyun ($ 6.5 Milyar).
Jika publik harus membayar Rp 850/saham, berapa harga yang selama ini dibayar oleh kelompok pemegang saham yang sudah ada? Dengan beberapa kali penerbitan saham baru, pemilik saham yang sudah ada, entry price-nya bisa lain-lain. Namun kalau menggunakan valuasi pada akhir tahun 2020, saat Microsoft masuk, valuasinya saat itu mencapai 3 Milyar.
Dengan demikian, IPO price saat ini sekitar 2 kali yang dibayarkan oleh pemegang saham yang masuk setahun lalu. Namun, kalau kita melihat akumulasi modal yang sudah disetorkan selama ini, Rp 9.6 Trilyun, dan jumlah saham sebelum IPO sebanyak 77 Milyar, maka entry price rata-rata dari pemegang saham yang sudah ada sekitar Rp 125 per-saham. Mereka yang lebih awal, tentu entry price-nya lebih rendah dari harga ini.

Kalau begitu, apa mereka tidak akan ikut menjual sahamnya juga pada saat saham Bukalapak sudah diperdagangkan nanti?
Ada pembatasan tertentu terkait hal ini. Untuk pemegang saham yang baru masuk dalam waktu 6 bulan sebelum registrasi IPO ini, mereka tidak boleh menjual sahamnya dalam 8 bulan setelah IPO.
Selain itu, untuk sejumlah pemegang saham tertentu, disebut sebagai “Para Pemegang Saham Wajib Lock-Up”, dilarang untuk mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilkan sahamnya di Bukalapak.
Ada kelompok pemegang saham lain, disebut “Para Pemegang Saham Lock-Up Sukarela” yang telah sepakat untuk tidak mengalihkan atau menjual 90% sahamnya sampai dengan 8 bulan setelah IPO.
Selain 2 kelompok itu, tidak ada batasan untuk pemegang saham lain yang ingin menjual sahamnya di pasar.
Adanya batasan di atas, diharapkan dapat mengurangi tekanan jual di hari pertama listing perusahaan ini.
Seperti diketahui, dari sejak perusahaan berdiri di tahun 2011, sampai saat ini perusahaan masih harus mencatat kerugian. Untuk periode 3 tahun terakhir, kerugian tercatat sebesar Rp 2.3 Trilyun (2018), Rp 2.8 Trilyun (2019) dan Rp 1.8 Trilyun (2020).
Cash Flow perusahaan dalam 3 tahun terakhir mencatat angka negatif sebesar Rp 1.8 Trilyun (2018), Rp 3.1 Trilyun (2019) dan Rp 1.1 Trilyun (2020). Bahkan kalau angka CFO itu bukan negatif, tetapi positif, angka Market Cap sebesar Rp 91 Trilyun, bukanlah angka yang murah kalau dibandingkan dengan CFO yang dihasilkannya.

Injeksi modal sebanyak Rp 9.6 Trilyun itu, dengan akumulasi Cash Flow negatif selama ini, menyisakan Saldo Kas sebesar Rp 1.48 Trilyun pada akhir tahun 2020. Selama Kwartal I/2021, Bukalapak masih mencatat kerugian sebesar Rp 320 Milyar, dan Negative CFO Rp 260 Milyar. Di Kwartal I/2021, masih ada injeksi modal sebesar Rp 418 Milyar.
Dengan akumulasi kerugian sampai Kwartal I sebesar Rp 7.97 Trilyun, nilai Modal per-31 Maret 2021, tercatat Rp 1.7 Trilyun. Dengan angka ini, maka setelah IPO nilai modal diperkirakan akan mencapai Rp 23.5 Trilyun, atau PBV seusai IPO sekitar 3.9 X. Tetapi tentu saja, angka PBV bukan merupakan metrik yang tepat untuk menilai emiten seperti ini.
Mari kita lihat dulu sejumlah informasi dari Bukalapak.
TPV menunjukan peningkatan signifikan pada 3 tahun terakhir ini, dari Rp 28.3 Trilyun (2018), naik dua kali lipat ke angka Rp 57.4 Trilyun pada tahun 2019. Tahun 2020, naik 49% ke angka Rp 85 Trilyun. Traction di angka TPV ini akan menjadi perhatian utama pasar. Angka ini menjadi indikasi awal seberapa besar “traction” yang sudah terjadi selama ini bisa dilanjutkan. Atau mulai mengalami penurunan. Dengan demikian, angka ini akan menjadi penggerak naik turunnya harga di pasar.
ATV, Average Transaction Value, masih sangat berfluktuasi, meskipun trend-nya menunjukan kenaikan, di angka Rp 162 ribu di tahun 2020.
Peranan Market Place (70%), yang angkanya lebih besar dibandingkan Mitra (27%) merupakan kondisi yang favorable untuk Bukalapak. ATV Market Place (Rp 199,000) lebih tinggi dibanding Mitra (Rp 108,000).
Dari segi pengguna, angka kenaikannya juga tampak cukup besar, dari 32.4 Juta (2018) dan 84.3 Juta (2019) ke 104.9 Juta (2020). Dari angka statistik kependudukan tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia yang termasuk dalam kelompok usia 15 – 59 tahun, angkanya mencapai 179 Juta orang. Dengan demikian, pemakai Bukalapak hampir mencapai 60% jumlah penduduk di kelompok usia tersebut. Atas dasar itu, angka ini diperkirakan tidak akan terlalu banyak berubah di masa datang.
Namun demikian, jika melihat angka ATU (Average Transaction Unit), saat ini masih setara 15.8% dari jumlah pengguna. Meskipun secara absolut jumlahnya meningkat, namun secara persentase, angkanya ini masih lebih rendah dari tahun 2019 (16,13%) maupun di 2018 (28.7%). Kombinasi peningkatan persentase ATU dan ATV akan bermuara pada peningkatan TPV, yang dapat menggerakan harga sahamnya di pasar.
Dengan peningkatan skala usahanya, Customer Acqusition Cost (CAC) turun sekitar 2/3, dari Rp 222 Ribu (2018) menjadi Rp 79 Ribu (2020).
Sekarang mari kita lihat Laporan Keuangan Bukalapak ini, selain angka Modal yang sudah disinggung sebelumnya.
Nilai penjualan Bukalapak mengalami pertumbuhan cukup pesat pada 3 tahun terakhir ini, dari Rp 292 Milyar (2018), menjadi Rp 1.07 Trilyun (2019) dan tumbuh 26% menjadi Rp 1.35 Trilyun pada tahun 2020. Jika melihat penjualan di Kwartal I/2021, cukup nyaman memperkirakan, bahwa pertumbuhan yang sama (26%) juga masih dapat dicapai pada tahun 2021 ini – apalagi dengan adanya dukungan dana segar. Dengan demikian, angka penjualan tahun 2021 dapat mencapai Rp 1.7 Trilyun.
Dengan proyeksi penjualan Rp 1.7 Trilyun ini, maka Price To Sales, satu metrik yang lazim digunakan untuk platform yang masih mengalami CFO atau laba negatif, setara dengan 54 kali. Angka yang sangat tinggi.
Jika melihat Amazon saat IPO tahun 1997, Price To Sales-nya pada saat itu angkanya kurang dari 3X (Price/Market Cap, $ 438 Juta, serta Sales $ 147 Juta). Sekarang ini dengan Market Cap Amazon $ 1.7 Trilyun, dan Sales (TTM) $ 443 Milyar, Price To Sales Amazon setara 3.83 X.
Pada saat Alibaba IPO tahun 2014, dengan valuasi USD 231 Milyar, di tahun itu Sales Alibaba setara dengan USD 8.1 Milyar, sehingga valuasi saat IPO itu sekitar 28.5 X. Dengan Sales saat ini (TTM) sekitar $ 111 Milyar, naik lebih dari 1,000% dalam 6 tahun, dan sudah menghasilkan laba dan CFO positif, Price To Sales saat ini sekitar 4.95 X.
Kalau kita melihat yang lebih dekat, SEA Ltd, induknya Shopee, yang juga masih rugi, tetapi mulai menghasilkan (sedikit) CFO, dengan nilai penjualan (TTM) $ 5.42 Milyar dan Market Cap $ 154 Milyar, Price To Sales-nya mencapai 28.4 X.
Potensi pertumbuhan pasar Asia yang masih dalam tahap awal, boleh jadi menjadi pemicu tingginya angka Price To Sales dari pemain baru di kawasan Asia ini, seperti terjadi pada saat Alibaba mulai IPO dengan valuasi setara 28.5 X Price to Sales Ratio tahun 2014.
Di luar Amazon, yang menguasai pasar Amerika, Eropa dan Australia, di Asia ini, selain Alibaba, ada Pinduoduo dan JD.Com di China, serta Jumia, yang merupakan leader untuk ecommerce dengan fokus pasar Afrika.
Pinduoduo yang masih rugi, tetapi menghasilkan CFO positif, sekarang ini Price To Sales-nya sekitar 9.6 X. Bahkan JD.Com dengan intervensi yang dilakukan pemerintah China saat ini, Price To Sales-nya hanya 1.1 kali saja (!).
Jumia, yang sahamnya selama tahun 2021 ini (YTD) sudah turun 48%, dan juga masih mencatat rugi dan CFO yang negatif, Price To Sales-nya setara 15 X.
Grab yang juga masih rugi dan CFO-nya negatif, dengan GMV dalam 3 bulan pertama mencapai $ 3.64 Milyar, diperkirakan GMV pada tahun 2021 bisa mencapai angka $ 15 Milyar. Sementar itu, Sales di 3 bulan pertama mencapai angka $ 507 Juta. Dengan demikian, diperkirakan untuk Full Year 2021, angka penjualan bisa mencapai $ 2 Milyar. Atas dasar nilai penjualan ini, valuasi IPO Grab yang dilakukan melalui SPAC (Altimeter Growth, sebesar $ 38 Milyar) setara 19X Price To Sales.
Di JSP ada satu leading company di sektor food delivery, JET, yang di bulan Juli kemarin merampungkan akusisinya. Saat ini JET merupakan leader di Eropa. Dengan akusisi terakhirnya di Amerika di bulan Juli ini, Gross Transaction Value (GTV) JET dapat mencapai $ 28 Milyar (Dalam 6 bulan pertama, proforma dengan memasukan angka transaksi Grub yang diakusisinya, GTV mencapai $ 14.1 Milyar).
JET merupakan satu-satunya food delivery platform besar, yang sudah berhasil mencatat EBITDA positif. Dengan GTV yang hampir 2 kali lipat Grab itu, Market Cap JET tercatat $ 18.7 Milyar, atau hanya 50% dari valuasi Grab.
Apa yang terjadi ini, selain menunjukan prospek pertumbuhan pasar Asia yang masih dalam tahap awal – sehingga memungkinkan adanya valuasi yang lebih premium – namun juga mengisyaratkan longgarnya kisaran valuasi dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Valuasi JET di atas, yang jauh di bawah Grab, juga tampak kontras jika dibandingkan dengan DoorDash yang saat ini dianggap leader di pasar Amerika, dan posisinya yang di atas UberEats.
Di tahun 2020, GMV DoorDash mencapai $ 22.34 Milyar. Tahun 2021, DoorDash memproyeksikan kenaikan GMV sebesar antara 22% – 34%.
Jika kita mengambil angka tengah, 28%, maka di tahun 2021 ini, GMV DoorDash dapat mencapai $ 28.5 Milyar. Angka ini kurang lebih sama dengan GMV yang bisa dihasilkan JET setelah akusisi GRUB.
Namun demikian, sementara Market Cap DoorDash saat ini mencapai $ 58 Milyar, Market Cap JET setelah akusisi itu hanya $ 18 Milyar, atau sekitar sepertiga Market Cap DoorDash.
Menggunakan Price To Sales Ratio, DoorDash angkanya 16 X, hampir 2 kali lipat Price/Sales Ratio untuk JET (sekitar 9X).
Dengan berbagai contoh ini, maka tampak jelas bahwa valuasi IPO dari Bukalapak setara 54 X Price/Sales Ratio tahun 2021 merupakan angka yang sangat tinggi.
Namun demikian, pembentukan harga dari perdagangan setelah IPO, kita tahu, bisa sangat tidak berhubungan dengan apa yang disajikan di angka-angka di atas. Market Maker pasti berkepentingan untuk dapat membuat sukses IPO terbesar di BEI dalam 13 tahun terakhir ini, sejak IPO Adaro di tahun 2008. Contoh Robinhood.
Betapapun tingginya valuasi itu, perkiraan saya – yang sering salah – harga saham Bukalapak ini bisa mencatat angka kenaikan yang cukup baik.
Going forward, tentu akan tergantung bagaimana perusahaan ini dapat mempertahankan “traction”-nya dengan mendapatkan injeksi dana sebesar Rp 22 Trilyun. Harap diperhatikan, dalam perjalanan 10 tahun usahanya, Bukalapak “hanya” berhasil menghimpun dana Rp 9 Trilyun. Saat ini, hanya kurang dari setahun, jumlah dana yang mampu dihimpun jumlahnya hampir 3 kali lipat dari yang dapat dihimpunnya dalam 11 tahun.
Seperti tampak dalam Gambar, 33% dari dana itu, akan disebar untuk pengembangan di sejumlah sektor. Ada yang menarik perhatian saya, yaitu Buka Investasi Bersama. Mudah-mudahan saja Bukalapak dapat mengambil jalur yang dilakukan Vanguard, dan bukan Robinhood.
Apa yang bisa kita lihat dari angka-angka yang disajikan Bukalapak?
Bukalapak menyebutkan dalam Prospektusnya, “Perseroan melihat Contribution Margin sebagai indikator penting yang berkorelasi dengan ekonomi dari kegiatan usaha yang mendasari perseroan”. Fair enough. Contribution Margin dalam hal pabrikan sama dengan Gross Margin.
Tahun 2018, Contribution Margin tercatat 100% (Rp 292 Milyar). Pada tahun 2019 angkanya menjadi 75% (Rp 809 Milyar), dan di tahun 2020 tercatat 91% (Rp 1.22 Trilyun).
Tentu saja seperti yang lainnya, biaya terbesar dari business model ini adalah biaya penjualan dan promosi, serta biaya administarsi. Kedua komponen biaya ini, dalam tahap awal kegiatan usaha, angkanya jauh lebih besar dibandingkan Contribution Margin yang dihasilkan.
Di tahun 2018, Biaya Penjualan/Pemasaran dan Biaya Umum, tercatat Rp 2.7 Trilyun, jauh lebih besar dari Contribution Margin di tahun itu, yang hanya Rp 292 Milyar. Di tahun 2019 dan 2020 kedua komponen biaya ini tercatat masing-masing Rp 3.6 Trilyun dan Rp 3.0 Trilyun. Jadi praktis injeksi modal yang masuk itu didekasikan untuk dua biaya ini.
Contribution Margin yang diperoleh dalam 3 tahun terakhir ini, jauh di bawah biaya yang harus dikeluarkan untuk kedua komponen biaya di atas. Namun dengan CAC yang sudah turun di tahun 2020, mungkin saja angka ini tidak akan semakin meningkat.
Apabila kita memakai asumsi pertumbuhan 25% dalam nilai penjualan untuk 5 tahun ke depan, maka penjualan Bukalapak dalam tahun 2026 bisa mencapai Rp 4.9 Trilyun. Dengan menggunakan angka persentase Contribution Margin 90%, maka Contribution Margin pada tahun 2026 akan tercatat Rp 4.4 Trilyun. Dengan asumsi Biaya Penjualan tidak naik lagi, dan biaya administrasi naik 5% setiap tahun, maka di tahun 2026, kedua biaya ini bisa mencapai Rp 3.4 Trilyun. Dengan memakai angka-angka ini, maka diperkirakan Bukalapak sudah bisa menghasilkan laba kurang lebih Rp 1 Trilyun. Jika dalam 5 tahun ke depan harganya tidak naik-naik, laba sebesar itu setara PE Ratio 91 kali. Kalau harganya naik, tentu angka PE Ratio semakin tinggi lagi.
Kesimpulan, kalaupun masih mau ikut membeli saham Bukalapak ini, gunakan jumlah dana yang tidak terlalu besar. Siapa tahu, euphoria di sektor ini bisa terjadi seperti yang dialami Amazon. Dan menggunakan pola yang terjadi pada Amazon, maximum waktu investasinya jangan lebih dari 2 tahun. Kemudian tunggu, dan beli lagi sahamnya 10 tahun setelah saham itu dijual – kecuali jika saham itu terpaksa dijual, karena Bukalapak diakuisisi oleh Grab.
0 Comments