Credit photo : Etsy
KILAS BALIK KE SATU TAHUN KE BELAKANG.
Pada hari pertama dimulainya konstruksi JSPortfolio/JSP, 13 Mei 2020, tentu saja saya tidak tahu, bahwa setahun sejak dimulainya konstruksi JSP, harinya bersamaan dengan Hari Raya Iedul Fitri, 1 Syawal 1442 H.
Selamat Hari Raya Iedul Fitri kepada mereka yang merayakannya.
Ide dasar konstruksi JSP ini sudah sering saya sampaikan. Merupakan kebiasaan, setiap melakukan pembelian satu saham perusahaan, saya selalu membuat catatan. At least catatan itu berisikan a) alasan utama mengapa saham itu menarik, b) maximum harga pembelian yang bisa dilakukan, sehingga masih ada margin of safety c) faktor apa saja yang perlu diperhatikan secara berkala, yang mungkin bisa mengubah basis pemikiran yang disampaikan di bagian a) tersebut. Untuk mudahnya, saya sering menyebutnya sebagai thesis investasi.
Thesis investasi itu biasanya dibuat dalam bentuk pointers. Ada yang panjang, ada juga yang ringkas. Pengalaman telah mengajarkan, lebih pendek pointers itu, imbal hasil investasi biasanya lebih memuaskan. Satu baris pointer, yang bertuliskan EV=0 atau negatif, tidak perlu lagi ditambah dengan pointers lainnya. Semakin banyak variable yang kita harus dapatkan untuk bisa membuat kita nyaman berinvestasi, malah akan semakin membuat kita tidak nyaman – serta memerlukan waktu yang panjang. Semakin simpel thesis, semakin baik peluang investasi itu menghasilkan imbalan.
Apa yang terjadi dalam pembentukan harga di pasar sehari-hari, tentu berada di luar kendali kita. Namun butir a, b dan c di atas sepenuhnya berada dalam kendali kita. Berdasarkan apa yang saya pahami selama ini – yang bisa sangat berbeda dengan pemahaman orang lain – apabila kita #1 membeli saham perusahaan yang baik, # 2 membelinya dengan harga yang baik, dan # memberikan kesempatan waktu yang memadai untuk bekerjanya investasi itu, kita bisa mendapatkan imbal hasil yang lebih dari memuaskan.
Atas dasar kebiasaan menulis catatan itu, sejak 2015 saya menuliskan sebagian dari pemikiran itu di Stockbit. Namun, karena apa yang saya anggap sebagai peluang yang baik itu, belum tentu sama baiknya serta sama cocoknya dengan profile risk mereka yang membacanya, selalu saya bubuhi catatan : It’s Your Own Money, serta DYOR, Do Your Own Research.
Sejak itu, semakin banyak yang mengajukan pertanyaan yang nadanya seperti “apakah saham ini bagus untuk dibeli, atau tidak”?. Sepertinya yang bertanya, tidak tahu, bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak mungkin dapat saya jawab – dengan alasan yang saya sampaikan di atas.
Koreksi besar karena Covid-19, menjadikan risiko berinvestasi di pasar modal turun dengan tajam. Dalam pandangan saya, penurunan harga di pasar, membuat risiko berinvestasi semakin turun. Koreksi di pasar menjadikan kita dapat membeli saham perusahaan yang sama dengan harga 30%-40% lebih murah dari harganya 6 bulan atau setahun yang lalu.
Hal inilah mendorong saya untuk mulai membuat konstruksi portfolio, disebut JSPortfolio, dimana thesis investasi dari setiap pembelian bisa saya sharing dengan pembaca lainnya. Tidak ada tambahan pekerjaan extra yang harus dilakukan. Tanpa melakukan sharing-pun, saya tetap harus menulis thesis investasi-nya untuk keperluan sendiri. Bedanya, kalau hanya digunakan untuk kebutuhan sendiri, tulisan itu tidak perlu serapih kalau harus saya sharing dengan yang lainnya.
Di hari pertama itu, ada 4 saham pertama yang masuk di JSPortfolio, yaitu 2 saham BEI (BBRI, harga Rp 2,460 dan BBCA, di harga Rp 25,525) dan 2 saham non-BEI (Berkshire Hathaway dan Aston Martin). Kecuali untuk Aston Martin, catatan untuk saham BBRI, BBCA serta Berkhsire praktis hampir tidak berisi apa-apa. Ke-3 wonderful companies di atas, harus berada di meja operasi, yang membuat harga ketiga perusahaan ini turun, karena pandemik. Peluang baik yang sangat jarang terjadi.
Seperti dikatakan Buffett, “The best thing that happens to us is when a great company gets into temporary trouble, we want to buy them when they’re on the operating table”.
Seperti tampak di Gambar, 5 tahun setelah IPO, harga saham BBRI naik lebih dari 400% ke harga Rp 385 (stock-split adjusted) di tahun 2009.
Kenaikan yang sudah 400% itu, tidak menghalangi harga BBRI untuk naik 385% lagi dalam 4 tahun berikutnya ke Rp 1,870, tanggal 18 Mei 2013. Adanya pertumbuhan kinerja BBRI, menjadi alasan satu-satunya untuk terjadinya kenaikan harga itu.
Terjadinya kenaikan harga, tidak bisa dipakai sebagai penghalang buat membeli lagi saham perusahaan yang sudah berada di dalam portfolio kita – kalau Value yang ditawarkan oleh perusahaan itu melebihi Harga yang harus dibayarkan (meskipun harganya sudah meningkat).
Tahun 2013 terjadi koreksi, dan membuat saham BBRI ikut terkoreksi sebesar 29% dalam 3 bulan berikutnya, mencapai harga Rp 1,330 (18 Agutus 2013). Bayangkan, kalau dana yang digunakan untuk membeli saham itu, adalah dana yang akan digunakan membayar biaya sekolah untuk Semester tahun itu, sementara harga di pasar terkoreksi tajam.
Itu sebabnya, pertanyaan pertama yang harus ditanyakan setiap kita mau membeli saham adalah, apakah dana tersebut merupakan dana yang masih akan diperlukan dalam 3 tahun mendatang? Jika jawaban-nya iya, simpan dana itu di deposito. Jangan dipakai membeli saham.
Hanya dalam 19 bulan, harga saham BBRI yang turun 29% itu kembali naik dua kali lipat ke harga Rp 2,615 tanggal 22 Maret 2015. Mereka yang tidak harus terpaksa menjual saham BBRI saat terkoreksi, dapat kembali menyaksikan kenaikan portfolio-nya. Apalagi jika mereka bisa memanfaatkan terjadinya penurunan itu.
Tahun 2015, terjadinya credit bubble di China, yang menjadikan crash Shanghai Market, menyebar ke berbagai pasar saham lain, termasuk BEI. Saham BBRI juga kembali ikut terkoreksi, dan turun 35% dalam 6 bulan berikutnya sampai ke harga Rp 1,710 (20 September 2015).
Di dalam kurun waktu 27 bulan, saham BBRI kembali meningkat lebih dari 100%, ke harga Rp 3,850 (21 Januari 2018).
Taper tantrum, yang berada di balik koreksi pasar tahun 2013, muncul kembali di tahun 2018. Selama bulan Desember, S&P 500 anjlok 11%. Perang dagang Amerika dan China, dan Trump yang menyatakan ” I’m a Tariff Man” dengan arah kebijakan yang tidak jelas, serta munculnya rencana Fed menaikan suku bunga, menjadikan tahun 2018 sebagai tahun yang buruk untuk pasar modal.
Saham BBRI kembali anjlok 26% hanya dalam 6 bulan. Untuk mereka yang membaca tulisan saya di Stockbit saat itu, dan kemudian menjadi bagian dari buku CSBPM Vol I, pasti teringat kalimat “Just like music to my ears….” dengan turunnya harga saham BBRI saat itu. Pasar kembali menawarkan perusahaan yang baik, di harga yang sangat baik, dengan harga BBRI menyentuh Rp 2,840 (1 Juli 2018).
Di dalam 19 bulan berikutnya, saham BBRI kembali berhasil mencetak harga tertingginya di Rp 4,740 (19 Januari 2020), naik 67%.
Tentu saja tidak ada yang tahu persis, kapan harga sebuah saham akan menyentuh harga tertinggi, atau terendahnya. Melakukan timing saat kita berinvestasi adalah sebuah kemustahilan. Namun dengan melihat apa yang terjadi dalam 10 tahun ini, terjadinya koreksi di saham BBRI dan kemudian pulih kembali dengan kenaikan 60%-100%, mencetak harga tertinggi baru TIDAK ADA yang lebih dari 3 tahun. Mereka yang berinvestasi dengan memakai dana yang tidak akan dipakainya dalam 3 tahun ke depan, tidak harus menjual sahamnya saat koreksi terjadi.
Kedatangan Covid, telah menjadikan saham BBRI kembali terkoreksi, dan kurang dari 5 bulan harganya anjlok 54% ke Rp 2,170 (tanggal 18 Mei 2020).
Penurunan tajam BBRI dari harga tertingginya (Rp 4,740) ke harganya pada saat konstruksi JSPortfolio mulai dirancang, tanggal 13 Mei, telah meyakinkan saya bahwa koreksi yang terjadi sudah berlebihan. Harga beli di Rp 2,460, di tanggal 13 Mei itu, menunjukan bahwa saham BBRI sudah turun 48%. Tiga koreksi sebelumnya, tidak pernah kejadian ada koreksi sebesar 48%. Koreksi 2013, angkanya 29%. Koreksi 2015, 35%, dan Koreksi 2018, 26%.
Dengan demikian, tidak perlu ada catatan apapun yang saya perlukan, untuk memasukan saham ini sebagai saham pertama di JSP. Ternyata, dugaan saya salah. Timing tidak pernah menjadi kawan karib.
Setelah saham itu masuk, harganya masih mengalami penurunan, dan menyentuh harga Rp 2,170 tanggal 18 Mei. Penurunan harga BBRI ini telah mendorong pembelian kedua BBRI, seperti ditulis dalam Catatan Portfolio, 18 Mei di harga Rp 2,200. Tidak persis di harga terendahnya.
Sebelas bulan kemudian, 3 Maret 2021, BBRI kembali mencatat harga tertinggi barunya di Rp 4,850, dan BBRI masuk menjadi salah satu dari emiten di JSPortfolio yang menjadi bagger. Seperti sebelumnya, tentu saya juga tidak tahu, koreksi yang saat ini terjadi di saham BBRI bakal berakhir di harga berapa. Sejauh ini, harga BBRI sudah terkoreksi 18% dari harga tertingginya 2 bulan yang lalu.
BERKSHIRE HATHAWAY
Pandemik Covid-19 telah membuat Buffett tampak “as dumb as us”. Seperti saya posting di IG, 19 Maret 2020 (Gambar di bawah) terlihat bagaimana kinerja Equity Portfolio yang anjlok tajam sejak 31 Desember 2019, meskipun untuk lebih fair-nya, tentu yang harus diperhatikan adalah harga beli sahamnya. Fluktuasi harga juga tidak pernah menarik perhatiannya.
Dengan perubahan pedoman harga shares buy-back yang diumumkan Buffett dalam RUPS tahun 2019, koreksi harga Berkshire hanya tinggal menunggu waktu saja untuk mendorong Buffett bertindak. Pemikiran ini, menjadi alasan utama yang membuat Berkshire masuk JSPortfolio kelompok pertama, tanggal 13 Mei 2020, di harga $ 172,81.
Sementara banyak orang menunggu, akuisisi apa yang akan dilakukan Buffett dengan saldo kas-nya yang semakin meningkat, Buffett lebih memilih perusahaannya sendiri sebagai sasarannya. Shares buy-back yang dilakukannya menjadi jumlah terbesar yang pernah dilakukannya selama ini. Saham Berkshire berkurang sebanyak 5.2% Dengan harga Berkshire saat ini di $ 299.33, saham ini sudah meningkat 69% persis setahun ini.
Termasuk BBRI, BBCA, Berkshire dan Aston Martin, yang merupakan 4 perusahaan pertama di JSPortfolio, tanggal 13 Mei 2020, sekarang ini ada 42 saham dalam JSPortfolio. 25 saham BEI dan 17 saham non-BEI. Kecuali untuk BBRI, BBCA dan Berkshire, selalu dibuat thesis investasi setiap ada satu saham yang masuk dalam JSP. Catatan ini hanya dapat diakses oleh mereka yang tergabung dalam JSPortfolio.
Dari 42 saham itu, ada 8 saham yang menjadi bagger dalam setahun ini. Satu diantaranya menjadi 2-bagger.
Sebagian dari thesis investasi JSPortfolio akan dibuat menjadi e-book, dan diberikan sebagai bonus untuk mereka yang mengikuti Seminar Tahunan The Buffett Way. And Beyond (12 Juni 2021) dan Seminar Anatomi Keuangan (10 Juli 2021).
Selamat Hari Raya Ied, 1 Syawal 1442 H.