by Aline Wiratmaja
Pamor kripto sedang meroket saat ini. Dibahas di mana saja dan oleh siapa saja. Biasanya soal betapa dahsyatnya persentase return-nya. Para pemberi rekomendasi saham juga sudah mulai merambah memberikan rekomendasi aset kripto untuk pengikutnya. Grup-grup saham merembet juga banyak membahas kripto, bahkan sampai diwarnai perdebatan sengit antara yang pro dan kontra akan kripto.
Ada deretan alasan mereka yang kontra terhadap kripto. Sebagian percaya aset kripto sudah bubble dan siap meletus. Ada yang menyebut aset ini kurang aman, karena tidak ada underlying-nya. Ada yang meragukan karena masih besarnya penolakan otoritas dan pemerintah di berbagai negara. Namun, hal lain yang bikin mereka ogah ke kripto. setelah melihat perilaku sekedar ikut-ikutan atau yang sering disebut sebagai Fear of Missing Out (FOMO) pada para pemain kripto baru.
Sebenarnya perilaku FOMO ini tidak khas hanya didapati pada pelaku pasar kripto saja. Perilaku FOMO bisa juga ditemukan pada instrumen lain, terutama pada setiap market rally. Misalnya, saat IHSG rebound dari “pandemic crash”. Banyak angkatan generasi baru yang masuk ke pasar saham. Netizen dan media melabeli mereka sebagain investor angkatan corona. Mereka dicap FOMO dan sradak sruduk di pasar tanpa analisa dan ingin hasil cuan instan. Nah, belakangan ini, sejak IHSG stagnan, media media memberitakan investor angkatan corona ini sekarang tengah migrasi ke kripto. Soal dugaan ini masih perlu digali lebih lanjut. Dan ini hanyalah sebagai pintu masuk untuk membahas behavior dalam berinvestasi.
Ada buku menarik yang relevan sekali, yaitu “The Psychology of Money”.Dalam buku ini, investor Morgan Housel menulis demikian:
“Doing well with money has a little to do with how smart you are and a lot to do with how you behave. Behavior is hard to teach, even to really smart people.”
Dalam bukunya, ia membandingkan kisah seorang pria yang hidupnya biasa-biasa saja tetapi meninggalkan kekayaan bersih yang tidak disangka-sangka, dengan seorang pria yang berpendidikan tinggi dan kaya raya, tetapi berujung bankrut.
Pria pertama adalah Ronald James Read, seorang petugas kebersihan, investor dan filantropis. Sepanjang hidupnya, ia bekerja 25 tahun di pom bensin dan 17 tahun di JC Penney sebagai petugas kebersihan. Di usia 38 tahun membeli rumah 2 kamar seharga 38 ribu dolar dan tinggal di rumah ini hingga akhir hayatnya. Di usia 50 tahun, ia menjadi duda dan tak pernah menikah lagi.
Namanya menjadi headlines saat meninggal dunia di usia 92 tahun pada 2014 lalu. Pada tahun itu ada lebih dari 2 juta orang yang meninggal dunia di Amerika Serikat, tetapi berapa yang meninggalkan kekayaan bersih 8 juta dolar? Hanya 4000 ribu orang, termasuk Ronald James Read yang hidupnya begitu sederhana. Sebanyak 2 juta dia wariskan ke anak-anak tirinya, sisanya sebesar 6 juta dolar dia sumbangkan ke rumah sakit dan perpustakaan.
Banyak orang bertanya-tanya, dari mana Ronald James Read mendapat uang sebanyak itu. Bukan dari menang lotere, bukan pula dari warisan! Tapi ia rutin menyisihkan penghasilannya dan berinvestasi di saham blue chip, lalu ia memberikan waktu untuk keajaiban bunga compounding bekerja.
Dari seorang petugas kebersihan menjadi seorang filantropis yang dikenang. Itulah Ronald James Read.
Lalu ada kisah lain, seorang pria yang kisah hidupnya berkebalikan 180 derajat. Richard Fuscone hidupnya penuh privilege. Jebolan Harvard Business School dan seorang eksekutif di Merrill Lynch. Dia memutuskan pensiun di usia 49 tahun dan menjadi seorang filantropis.
Di pertengahan tahun 2000-an, Fuscone mengambil hutang untuk merenovasi rumah mewahnya dengan kolam renang, 2 elevator, 7 garasi dan 11 kamar mandi di Greenwich. Lalu badai krisis finansial menerpa pada 2008. Tumpukan hutang dan aset yang tidak likuid membuatnya bankrut. Kepada hakim yang menangani perkara kebangkrutannya di 2008 ia mengaku tidak memiliki penghasilan.
Satu per satu rumahnya disita. Pertama yang di Palm Beach. Lalu pada 2014, lima bulan berselang dari penyerahan harta kekayaan janitor dermawan Ronald Read untuk amal, rumah mewah Richard Fuscone di Greenwich disita dan dilego 75% di bawah nilainya. Sungguh kontras.
Pelajaran yang kita bisa ambil dari cerita yang dipaparkan dalam buku “The Psychology of Money” ini adalah kesuksesan finansial bukanlah hard science, melainkan soft skill, di mana apa yang kita lakukan dalam keseharian lebih penting daripada apa yang kita ketahui.
Kembali lagi soal behaviour dalam berinvestasi tadi. Morgan Housel menyimpulkan yang menentukan money success adalah survival mindset, dengan kita mengingat 3 hal penting di bawah ini:
1) Daripada imbal hasil yang besar, saya ingin tangguh secara finansial (unbreakable). Kalau saya tangguh secara finansial, saya sebenarnya akan meraup imbal hasil yang besar, karena saya bisa memberi waktu yang cukup untuk keajaiban bunga compounding bekerja.
Dalam bull market, tak ada yang mau pegang cash. Karena rasanya sayang, daripada uang cash tidak diinvestasikan, padahal market sedang bisa memberikan cuan besar. Tapi ingat, cash yang dipegang itu bisa menjadi “senjata” kita supaya tak harus menjual saham atau aset yang dipegang di saat market sedang bearish. Menjual saham di saat yang salah, bisa bisa berimbas lebih besar pada kinerja imbal hasil jangka panjang. Kinerja bunga compounding tidak tergantung pada imbal hasil besar. Melainkan pada imbal hasil yang baik secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Perlu dicatat, sebanyak 81,5 miliar dolar dari 84,5 kekayaan bersih Warren Buffet baru datang setelah ulang tahunnya yang ke 65 tahun. Sebagai catatan, Buffet berinvestasi sejak usia 10 tahun. Keahliannya adalah investasi, tapi rahasianya adalah waktu.
Sebenarnya ada investor yang lebih fenomenal dari Warren Buffet yaitu Jim Simmons. Dia mencetak imbal hasil compounding 66% secara tahunan 1988. Hampir tak ada yang bisa menyaingi rekornya. Buffet sendiri mencatatkan return tahunan sepertiga dari Jim Simmons.
Meskipun demikian, dari kekayaan bersihnya, Jim Simmons 75% kalah tajir dari Warren Buffet. Kok bisa beda jauh padahal Jim Simmons seorang investor yang lebih baik? Itu karena Jim Simmons memulai di usia 50 tahun. Kalau Jim Simmons membukukan return 66% per tahun selama 70 tahun (yaitu periode Warren Buffet berinvestasi), maka kekayaan Jim Simmons akan mencapai 63 quintriliun dolar (nolnya ada 30 ya wkwkwk).
Buat saya pribadi, ini luar biasa sekali. Saya sendiri baru mulai mengenal investasi di usia 35 tahun, agak telat start-nya. Tapi saya menekan dalam diri saya tidak terlambat untuk mulai berinvestasi untuk anak saya yang sekarang berusia 7 tahun and let the magic of compounding works for him.
2) Perencaan itu penting, tapi yang tak boleh dilupakan adalah merencanakan apa yang harus dilakukan jika realita tak sesuai rencana
Menurut Morgan Housel, mendapat uang (getting money) dengan menyimpan uang (keeping money) membutuhkan 2 skill yang berbeda.
Getting money menuntut kita mengambil risiko dan optimistis. Agak berkebalikan dengan keeping money yang menuntut kerendahan hati dan berhati-hati, karena uang dan keuntungan yang diperoleh bisa hilang sewaktu waktu.
Jadi kemampuan untuk bertahan dalam jangka waktu panjang tanpa terpaksa harus menyerah atau menyingkir, inilah yang menentukan. Ini harusnya bisa menjadi pegangan kita baik dalam berbisnis maupun berinvestasi.
Perencanaan yang baik harus memberi ruang untuk kesalahan. Ruang untuk kesalahan atau margin of safety adalah satu satu kekuatan dalam keuangan yang paling sering diabaikan oleh investor.
3) A barbelled personality adalah vital.
Barbelled personality maksudnya adalah optimistis akan masa depan, tapi juga waspada tentang hal hal yang bisa menghalangi kita mencapai masa depan.
Optimistis investasi kita akan membuahkan waktu, tapi juga waspada misalnya dengan tetap menjaga punya cash yang cukup dan tidak berinvestasi dengan menggunakan margin. Jika ada alarm bahaya berbunyi, jangan menangkisnya dengan berkata “It`s different this time.”
Dan yang pasti ditekankan pula oleh Morgan Housel, banyak hal lebih sulit dilakukan daripada teori. Terkadang kita overconfident, atau lupa bahwa ada harga yang harus dibayar.
Termasuk dalam kesuksesan berinvestasi menuntut harga yang harus dibayar. Harga yang harus dibayar ini tak harus berupa uang, melainkan cara kita menyikapi volatilitas, ketakutan, keraguan, ketidakpastian dan penyesalan. Hal-hal yang tentunya tidak mudah saat kita mengalaminya langsung.
Kadang kita terlalu sibuk mencari trik dan strategi terbaik untuk meraup sebanyak-banyaknya cuan tanpa mau membayar harganya. Tapi “Dewa Uang”, dalam bahasanya Morgan Housel, tidak akan memandang mereka yang hanya mencari imbal hasil tanpa mau membayar harga.
Lalu bagaimana dengan teman-teman sekalian? Apapun instrumen investasi yang dipilih, pastinya ada harga yang harus kita bayar, mulai dari punya mindset yang baik, money management, meriset dan mempelajari instrumennya, dan berinvestasi rutin serta bersabar memberi waktu bagi keajaiban compounding bekerja. Remember, what we do in investing matters more than what we know.
Morgan Housel sendiri dalam penutup di bukunya “The Psychology of Money” menulis, strategi investasi dia adalah rasio menabung yang tinggi, kesabaran dan optimisme.
Selamat berinvestasi!
Aline Wiratmaja
Business Anchor