TEKANAN DI JANGKA PENDEK, KABAR BAIK DI JANGKA PANJANG

Saya termasuk yang agak heran, membaca bahwa akusisi Pinehill Coy oleh ICBP dilakukan melalui skema pinjaman, dan tidak melalui equity placement. Akuisisi yang dilakukan lewat penerbitan saham baru, seharusnya bisa menjadi langkah awal untuk menempatkan ICBP di jajaran terkemuka dalam Top-10 di BEI. 

Dengan estimasi penjualan tahun ini (sebelum Pinehill dikonsolidasi di ICBP) sekitar Rp 43.56 Trilyun, nilai penjualan ICBP kurang-lebih sama dengan nilai penjualan UNVR. Estimasi saya, penjualan UNVR di tahun 2020 ini tidak akan berbeda banyak dengan nilai penjualan tahun 2019 sebesar Rp 43 Trilyun. 

Dengan nilai penjualan yang sama tersebut, Market Cap UNVR (Rp 285 Trilyun) sekitar 2.5 kali Market Cap ICBP (Rp 114 Trilyun). Keunggulan UNVR yang dapat menghasilkan Gross Margin dan Profit Margin yang lebih tinggi (TTM, 52.47% dan 17.02% versus ICBP 35.65% dan 12.85%) berada di balik lebih besarnya Market Cap UNVR.  

Namun demikian, perbedaan Operating Margin yang hanya sekitar 4% diantara keduanya, sulit untuk menjadi justifikasi untuk angka Market Cap yang begitu berbeda. Hal ini memang menunjukan penilaian pasar yang lebih menghargai UNVR dibandingkan ICBP. Keragaman produk-produk UNVR dan sejarah perjalanan UNVR dapat menjadi tambahan faktor, mengapa valuasi UNVR lebih premium dibandingkan ICBP. Saat ini, atas dasar estimasi full-year tahun 2020, EV/EBITDA UNVR sekitar 27X, sementara itu ICBP (pra-konsolidasi) hanya sekitar 12X.

Apakah mulai dikonsolidasikannya Pinehill di dalam ICBP dapat lebih mendekatkan valuasi ICBP dengan UNVR? Hal ini masih memerlukan informasi yang lengkap dari LK Pinehill. Namun begitu, nilai penjualan ICBP dipastikan akan lebih tinggi dari UNVR pada tahun 2021 onward post-konsolidasi.

Skema akuisisi yang didanai pinjaman, dan Goodwill akuisisi – dengan angka yang sangat besar – diperkirakan akan ditanggapi secara negatif oleh pasar. Hal ini merupakan kabar baik untuk JSP yang akan mulai menginisiasi investasinya di ICBP.

Kita bisa lihat Gb 1. Laporan Keuangan ICBP Kwartal III/2020.

Akuisisi senilai USD 3 Milyar ini (Rp 43.9 Trilyun) sudah dirampungkan. Pinjaman juga sudah diperoleh, dan seperti dapat dilihat di LK, angka pinjaman itu sudah dicatat. Begitu juga dengan nilai Goodwill.

Dengan harga akusisi sebesar Rp 43.9 Trilyun, Net Assets Pinehill yang negatif – setelah memperhitungkan minority interest – mengharuskan ICBP mencatatkan Goodwill yang angkanya lebih besar dari harga yang dibayarkannya.

Pada saat diakusisi, Pinehill memiliki Net Assets Rp 10.8 Trilyun, dan angka ini harus dikurangi dengan minority interest senilai 19.1 Trilyun, sehingga nilai Assets yang dicatat dalam LK ICBP post-akuisisi adalah Negatif Rp 8.3 Trilyun. Dengan harga akusisi sebesar Rp 43.9 Trilyun, maka ICBP harus mencatat angka Goodwill sebesar Rp 52.2 Trilyun. 

Pada saat akusisi dilakukan, ada uang kas sebesar Rp 1.9 Trilyun dalam buku Pinehill. Uang ini tentu menjadi hak-nya pemegang saham baru (ICBP). Selain itu (dapat dilihat penjelasannya di bawah), dana sebesar Rp 9.7 Trilyun dari harga akuisisi itu ditahan dulu oleh ICBP. Terdapat kewajiban Pinehill untuk menjamin dicapainya minimum laba untuk 2 tahun ke depan, setelah akusisi dilakukan. Penentuan harga akusisi ini didasarkan atas PE Ratio 23 X, atas dasar minimum laba setelah pajak sebesar USD 128.5 Juta (Rp 1.9 Trilyun).

Adanya retensi dana sekitar Rp 9.7 Trilyun, untuk memastikan bahwa Pinehill mencapai minimum laba ini. Seperti juga bisa dilihat di bawah, apabila minimum laba ini tidak tercapai, harga akusisi akan dipotong senilai 23 X selisih laba. Pengurangan harga diambil dari dana retensi.

Dengan harga akusisi Rp 43.9 Trilyun, setelah dikurangi Saldo Kas yang ada di Pinehill (Rp 1.9 Trilyun) dan Dana Retensi sebesar Rp 9.7 Trilyun, maka ICBP melakukan pembayaran sebesar Rp 32.3 Trilyun.

Dana untuk melakukan akusisi ini dibiayai melalui pinjaman sindikasi dari 7 banks (dalam US Dollar dan Yen) setara Rp 30.6 Trilyun, dengan suku bunga berkisar antara 2.1%-2.5% (untuk US Dollar) dan 1.35% – 1.65% (untuk Yen). Pinjaman untuk akuisisi ini akan jatuh tempo pada bulan September 2025, atas dasar Akta Pinjaman yang ditanda-tangan tepat pada akhir Kwartal III/2020.

Atas penjelasan di atas, maka tampak ada dua komponen besar, yang seperti dikatakan di atas, akan ditanggapi negative oleh pasar. Apabila kita melihat LK Kwartal III/2020 dan LK tahun 2019, diperkirakan laba ICBP sebelum adanya konsolidasi untuk tahun 2020 ini bisa mencapai angka Rp 5.8 Trilyun.

Seperti sudah disinggung di atas, minimum laba yang dijamin Pinehill adalah Rp 1.9 Trilyun/tahun. Adanya tambahan laba ini, dalam jangka pendek, akan ditanggapi negatif oleh pasar karena harus berhadapan dengan tambahan 2 komponen biaya, yang angkanya lebih besar dari penambahan laba itu.

Pertama, adanya Goodwill sebesar Rp 52.2 Trilyun, jika amortisasinya dilakukan selama 20 tahun, maka akan ada tambahan biaya sebesar Rp 2.61 Trilyun. Kedua, skema pinjaman yang digunakan untuk akuisisi ini, akan menimbulkan tambahan biaya bunga Rp 1 Trilyun/tahun. 

Saya masih belum tahu apakah dilakukan full-hedging untuk pinjaman dalam US Dollar maupun Yen ini, karena mayoritas penerimaan ICBP bukan US Dollar dan Yen. Dengan angka penambahan biaya (Rp 3.61 Trilyun) yang lebih besar dari penambahan laba hasil akusisi ini (Rp 1.9 Trilyun), maka adanya akusisi ini – lupakan dulu pertumbuhan generik dari ICBP Indonesia dan Pinehill – akan menjadikan laba ICBP setelah konsolidasi justru menurun, bukannya naik.

Adanya proyeksi penurunan laba ini, yang saya sampaikan di atas, bisa mendapat tanggapan negatif di pasar dalam jangka pendek (dan good news untuk yang berniat berinvestasi jangka panjang di ICBP).

Dalam pandangan saya, reaksi negatif itu tidak pada tempatnya, yang menjadikan turunnya harga ICBP – jika benar terjadi penurunan – akan menawarkan kesempatan yang baik untuk melakukan akumulasi pada saham ini.

Ada beberapa alasan yang bisa diberikan.

  1. Adanya tambahan biaya amortisasi Goodwill Rp 2.61 Trilyun ini merupakan non-cash item, dan tidak memiliki pengaruh apapun kepada kegiatan usaha perusahaan. Substansi “permasalahan” – terkait soal Goodwill ini, kalaupun ada – sudah diselesaikan pada saat akuisisi diputuskan. Memang harga akuisisi dengan valuasi PER 23 X ini dianggap cukup mahal. Itu juga sebabnya, pada saat dimintakan persetujuan di level First Pacific (yang listed di Hong Kong sebagai ultimate shareholders ICBP), hanya 52% pemegang saham saja yang menyatakan persetujuannya. Rendahnya angka dukungan ini, juga disebabkan oleh adanya hubungan istimewa antara penjual (Pinehill) dan pembeli (ICBP). Ada keluarga Salim di dalam kedua perusahaan ini. Meskipun tidak murah, terutama jika dibandingkan dengan valuasi ICBP sendiri sekarang ini, harga akusisi ini masih lebih rendah dari valuasi UNVR, misalnya. Skala usaha yang lebih besar, serta manfaat sinergi dengan jangkauan usaha global, diharapkan dapat menjadikan valuasi ICBP – secara keseluruhan (post-konsolidasi) – lebih mendekatkan valuasi ICBP setara UNVR, atau valuasi yang dipergunakan untuk akuisisi ini. Mulai tahun 2021, untuk pertama-kalinya angka penjualan ICBP akan lebih tinggi dari UNVR. Dengan tambahan nilai penjualan Pinehill (yang dijadikan dasar akuisisi) sebesar Rp 7.9 Trilyun, di tahun 2021 nilai penjualan ICBP dapat mencapai Rp 51,5 Trilyun, dan melampaui angka penjualan UNVR.
  2. Secara Cash Flow, tambahan bunga pinjaman sekitar Rp 1 Trilyun dengan adanya akuisisi ini, dapat ditutup dengan tambahan laba yang dijamin sebesar Rp 1.9 Trilyun. Dengan demikian, akuisisi Pinehill menghasilkan delta kas postif. Dengan estimasi CFO pra-konsolidasi sebesar Rp 7.9 Trilyun di tahun ini, maka CFO post-konsolidasi dapat mencapai Rp 8.8 Trilyun. Posisi kas akhir tahun 2020, diperkirakan mencapai Rp 9.2 Trilyun, dan saldo pinjaman  Rp 33 Trilyun, serta hutang dana retensi Rp 9.7 Trilyun, maka EV ICBP mencapai nilai Rp 148 Trilyun. Dengan EBITDA post-akuisisi sebesar Rp 11.8 Trilyun, maka EV/EBITDA post-konsolidasi ICBP sekitar 12.5 X. Still a bargain. Jika kita memakai pendekatan PER, laba tahun 2020 diperkirakan mencapai Rp 4.1 Trilyun. Laba pra-akuisisi sebesar Rp 5.8 Trilyun ditambah dengan tambahan laba dari Pinehill sebesar Rp 1.9 Trilyun, dikurangi biaya amortisasi & biaya bunga pinjaman akuisisi sebesar Rp 3.6 Triyun, atau Rp 4.1 Trilyun. Harga saat ini setara PE Ratio 28 X versus UNVR 39 X. Laba yang turun, justru setelah terjadinya akuisisi ini, yang dapat membuat pasar bereaksi negatif.
  3. Warning : Dalam pandangan saya, estimasi Pinehill terkait angka laba minimum yang menjadi basis harga akusisi ini is on a high-side (lihat catatan di bawah). Dengan demikian, penyampaian LK Pinehill yang secara full akan disajikan dalam LK ICBP pada akhir tahun, bisa memberikan gambaran yang lebih baik. Namun soal ini sudah dinetralisir dengan adanya penyesuaian harga jika laba itu meleset. Penurunan harga akuisisi pada gilirannya akan dapat menurunkan biaya amortisasi Goodwill, dan biaya bunga. Selain itu, dengan kemampuan ICBP menghasilkan CFO masih terbuka kemungkinan untuk melakukan akselerasi pembayaran hutang. Atau, jika valuasi ICBP post-konsolidasi bisa lebih baik, tentunya tidak tertutup kemungkinan juga untuk mengganti pinjaman itu, dengan penerbitan saham baru. Controlling shareholders ICBP memilih skema pinjaman untuk akuisisi – dan bukan penerbitan saham baru – terutama lebih disebabkan oleh relatif rendahnya valuasi ICBP saat ini.

Catatan di atas ini merupakan tambahan catatan sebelumnya tentang ICBP, yang dapat dibaca lagi di bawah ini, sehingga dapat melengkapi penjelasan di atas.

Action : Alokasikan dana secara bertahap sebesar 5% di saham ICBP. Dengan antisipasi bahwa pasar akan bereaksi negatif, dan menjadikan harga ICBP turun, alokasi dana pertama bisa dilakukan sepertiga dulu dengan maximum harga pembelian di Rp 9,850. Dana sebesar 2/3 sisa-nya dapat segera dilakukan jika terjadi penurunan harga.

Di bawah ini adalah catatan sebelumnya tentang ICBP (Karena catatan ini dibuat di bulan Mei, beberapa hal yang waktu itu belum jelas, saat ini ada beberapa yang sudah bisa dijawab).

INDOMIE.

Tahun 2016, berdasarkan informasi WINA (The World Instant Noodles Association) konsumsi mie-instan mencapai angka 98 Milyar. Dengan selesainya pabrik Indofood CBP di Palembang dalam Kwartal IV/2020 kemarin, ICBP mampu menghasilkan 19 Milyar bungkus mie, atau 20% dari produksi dunia. Dan memang, seperti ditunjukan dalam pajangan Indomie di Trieste itu, Indomie sudah menjadi bagian makanan dunia. Ketika saya berkunjung ke Mostar dan Sarajevo di Bosnia, orang yang mengantar saya dengan antusias bercerita soal Indomie yang sangat mereka sukai, begitu mereka tahu saya berasal dari Indonesia. Tentu saja saya hanya senyum-senyum mendengakan cerita mereka : If you don’t have something nice to say, silent or smiles is your best option.

Global instant-noodle market mencapai angka USD 44.5 Milyar dalam tahun 2019. Di dalam tahun 2020-2025, berdasarkan proyeksi Expert Market Research (EMR), sektor ini diperkirakan akan tumbuh dengan CAGR 5%, dan bisa mencapai angka USD 61.4 Milyar di tahun 2025.

INDOMIE KSA.

Indomie dan Supermie tidak lagi hanya dikenal di Indonesia. Di Saudi Arabia, Indomie diproduksi oleh Pinehill Arabia Food Limited, dimana 59% sahamnya dimiliki oleh Pinehill Company, yang merupakan Target akuisisi Indofood CBP. 

Pinehill Arabia, dikenal juga sebagai Indomieksa (Indomie Kingdom of Saudi Arabia) memiliki 3 pabrik Indomie. Dua di Jeddah dan satu lagi di Dammam. Pabrik yang di Jeddah telah berdiri hampir 30 tahun yang lalu, sementara yang di Dammam baru dibangun tahun 2005. Jamaah haji/umrah Indonesia, yang masih senang makan Supermie dibanding lamb briyani, untuk apa repot-repot membawa Supermie sendiri dari Indonesia? (Saya sendiri lebih memilih lamb briyani).

Riset EMR, dalam publikasinya yang disebutkan di atas, menyebutkan bahwa Indomie merupakan leader dari instant-noodle market di Saudi Arabia, dengan pangsa pasar 95%. Dengan demikian, 5% pangsa pasar harus dibagi oleh pemain lainnya, seperti Nestle SA, Riyadh Food dll.

INDOMIE NIGERIA

Di Nigeria, Indomie diproduksi oleh Dufil Prima Foods, yang 48.99% sahamnya – melalui Platinum Streams Ltd – dimiliki oleh Pinehill juga. Dufil yang menyebut dirinya “…home of Nigeria’s most loved noodle brand, Indomie Instant Noodle”, meskipun baru dibentuk tahun 2001, namun kegiatan operasinya sudah dilakukan sejak tahun 1996 melalui De United Foods Industries Ltd.

Selain Salim Group, Kellog, US-listed company – lewat JV-nya dengan Tolaram Group Singapore (partner Salim Group di Dufil) –  juga berada di dalam Dufil. Saat ini, CEO dari Dufil Group, Adhi Narto, merupakan lulusan dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia sudah bergabung di Dufil Group sejak tahun 2001. Sebelum menjadi CEO, dia menjadi COO di Group ini. 

Brand Indomie, yang “diberikan” Indofood kepada Dufil menjadi nama yang sangat popular di Nigeria. Nama Indomie berada di ranking #1 di Brand Equity Index Nigeria, di atas brand seperti Coke dan Maggi.

Di Nigeria, Indomie mulai masuk tahun 1988 melalui import, meskipun baru pada tahun 1996 diproduksi  di negeri itu oleh De United Foods. Kanter WorldPanel Report yang dipublikasikan tahun 2017, diantara 16 brands yang bertarung di instant noodle market Nigeria, Indomie berada di posisi paling atas, dengan pangsa pasar sekitar 74%.

Sekitar 1.9 Milyar bungkus Indomie terjual di Nigeria setiap tahun dari 3 pabriknya. Hal ini menjadikan Nigeria menduduki posisi ke-11 dari pasar instant noodle terbesar dunia. 

INDOMIE MESIR, TURKI, KENYA, MAROKO dan SERBIA

Di beberapa negara ini, Indomie hadir melalui Salim Wazaran Gida (di Turki) dan Salim Wazaran Group Ltd (di Mesir, Kenya, Maroko, Serbia). 59% saham dari kedua holding company ini dimiliki oleh Pinehill yang juga termasuk target akusisi Indofood CBP. Karena ke-2 non-operating holdings ini menguasai sekitar 80% berbagai operating company yang memproduksi Indomie, maka Pinehill menjadi ultimate shareholders, dengan kepemilikan sekitar 48% dari produsen-produsen itu.

Di Mesir, Indomie sudah mulai masuk sejak tahun 1990, lewat import dari Indonesia dan Saudi (Pinehill Arabia). Baru sekitar 15 tahun lalu, di tahun 2005, Salim Group menyetujui bekerja sama dengan Wazaran Group, untuk membangun pabrik Indomie di Mesir. Melalui pendirian pabrik ini,  pasar Mesir tidak lagi tergantung kepada Pinehill Arabia. 

Pabrik yang didirikan di Badr City, Kairo ini mulai berproduksi di bulan Oktober 2009.

Di Turki, produksi Indomie dimulai di tahun 2010, tidak lama setelah pabrik Indomie di Mesir. Pabrik pertamanya ini terletak di Cerkezkoy, Tekirday, yang dimiliki Adkoturk, yang mayoritas kepemilikan saham-nya dimiliki Salim Wazaran Gida. 

Saudi Arabia, Mesir dan Turki telah membawa Indomie setidaknya di dalam 10-20 tahun terakhir, sebagai salah-satu halal-food di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Anthony Salim, melalui Pinehill Corpora – dan bukan via ICBP/INDF – selama ini telah merintis jalan panjang, Bersama-sama partner lokalnya di negara-negara itu.

TARGET COMPANY.

Target Company (Pinehill Company, yang 51% sahamnya dimiliki oleh Pinehill Corpora-nya Anthony Salim), melalui anak-anak perusahaan-nya (Target Group) sekarang ini memiliki 12 pabrik, dengan kapasitas 10 Milyar bungkus (setengah kapasitas ICBP saat ini).

Nilai penjualan Target Group pada tahun lalu mencapai USD 534 Juta, dengan laba sebelum pajak USD 125 Juta. Dengan keragaman tax-rate dari berbagai negara, kita asumsikan saja tax-rate 20%, sehingga NPAT sekitar USD 100 Juta. Net Income Margin 18.7% tentu saja tidak buruk. ICBP sendiri NIM-nya sedikit di bawah 12%. Selain itu, dengan Equity Target Group sebesar USD 246.3 Juta, ROE Target Group ini mencapai angka 40.6%. ROE sebesar ini akan menjadikan para pemegang saham bersiul-siul.

Nilai akusisi sudah disetujui sebesar (kita bulatkan) USD 3 Milyar. Dari jumlah itu, USD 300 Juta didanai oleh kas internal, sementara sisanya sebesar USD 2.7 Milyar akan didanai dari pinjaman baru. Untuk jumlah kas sebesar USD 300 Juta, ICBP tidak akan kesulitan memakai kas yang ada di perusahaan. Saat ini, ICBP memiiki saldo kas Rp 8.9 Trilyun, dan hutang bank yang akan jatuh tempo pada tahun ini kurang dari Rp 200 Milyar. Selain itu, diperkirakan dalam 3 kwartal sisa tahun ini, akan ada tambahan CFO sekitar Rp 4-5 Trilyun.

MENGAPA HARGA AKUSISINYA USD 3 MILYAR?

Kesepakatan harga ini dilakukan,  dengan disertai adanya guaranteed-profit sebesar USD 128.5 Juta (untuk tahun 2020 dan 2021). Atas dasar ini, nilai akuisisi ini setara dengan PER 23X. Dalam penjelasannya, nilai PER 23 X merupakan PER rata-rata berdasarkan data yang dikutip dari Bloomberg dari perusahaan sejenis di kawasan AMEA (6 perusahaan) dan di Asia (5 perusahaan). ICBP sendiri dengan harga saat ini memiliki valuasi dengan PER sekitar 22-23 X.

Apakah harga akuisisi ini wajar? Bagaimana pengaruh akusisi terhadap gambar ICBP di masa-masa yang akan datang?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, agar diperhatikan terlebih dahulu guaranteed profit sebesar USD 128.5 Juta ini. Ada klausul dalam butir-butir perjanjian itu, yang akan membuat harga yang dibayar tidak lagi USD 3 Milyar. Jika USD 128.5 Juta ini tidak dapat dicapai, maka harga akusisi itu akan dikurangi dengan angka sebesar 23 (yang merupakan nilai PER) dikalikan selisih dari actual profit dengan guaranteed profit. Jadi kalau laba hanya 120 Juta (bukan 128.5 juta), maka harga akusisi itu akan dikurangi sebesar USD 195.5 Juta (23 dikali 8.5 Juta). Ini juga sebabnya, ada sebagian pembayaran yang ditahan dulu sampai bulan April 2022, menunggu berakhirnya masa “guaranteed-profit’ ini.

Buat mereka yang menganggap, bahwa tidak ada masalah bagi Target Group untuk menghasilkan laba USD 128.5 Juta tahun 2020, karena di  tahun 2019 saja sudah menghasilkan laba  sebesar USD 125 Juta, tentu ada baiknya untuk memperhatikan terminologi yang dipakai. Dari apa yang saya baca, ada sejumlah pembahasan memakai cara pandang ini.

Seperti dikatakan di atas, basis PER 23 X ini adalah Profit yang bersih, yang merupakan hak (attributable) untuk Target Company (Pinehill) dan bukan Target Group. 

Pinehill (dan karena itu ICBP) setelah terjadinya akusisi TIDAK memiliki 100% saham Target Group. Di atas sudah disebutkan, bahwa Pinehill hanya memiliki 59% saham di Pinehil Arabia, 48.9% di Dufil Foods, dan masing-masing 59% (dari 80%) di operating company di bawah Salim Wazaran di Mesir cs dan Salim Wazaran di Turki.

Laba sebesar USD 125 Juta di tahun 2019 adalah Laba Sebelum Pajak untuk kepemilikan 100% saham Target Group. Apabila kita memakai terminlogi yang sama seperti  yang dipakai dalam “Guaranteed Profit” (USD 128.5 Juta), yaitu, saya kutip “consolidated net profit AFTER tax ATRRIBUTABLE to parent companies of the Target Group (NPAT)”, dari rumusan ini kita tahu bahwa tidak tepat untuk membandingkan angka “guaranteed profit” USD 128.5 Juta dengan laba yang disebut di dalam Agreement itu sebagai laba tahun 2019 (USD 125 Juta).

Apabila kita mau melakukan apple to apple comparison dengan angka “guaranteed profit” yang USD 128.5 Juta itu, maka seharusnya angka yang kita pakai adalah “laba bersih setelah pajak yang menjadi haknya Pinehill” di tahun 2019. Kalau kita menggunakan rumusan ini, besaran laba untuk tahun 2019 adalah USD 43.2 Juta di tahun 2019, atau hanya sekitar 30% dari angka USD 125 Juta. Tahun 2018 juga angkanya tidak jauh berbeda (USD 41.8 Juta). Inilah angka laba yang menjadi hak-nya Pinehill jika akusisi itu dilakukan tahun 2018 atau tahun 2019. Harga akusisi ini setara dengan (PER) sekitar 69 kali dari EPS yang merupakan hak-nya Pinehill.

Oleh karena itu, hal yang menjadi perhatian menarik saya adalah, apa yang terjadi dalam tahun 2020 ini, sehingga baik pembeli dan penjual (ya saya tahu, ada related party transactions) sehingga kedua-duanya menganggap “guaranteed-profit” USD 128.5 Juta menjadi angka yang “attainable”. Angka ini kan 300% dari laba yang dihasilkan tahun lalu.

Kalau kita melihat analogi laba Target Group tahun lalu (USD 125 Juta), dimana angka ini menghasilkan laba “attributable to” Pinehill Limited (Target Company) sebesar $43.2 Juta, maka proyeksi laba dari Target Group tahun 2020 bisa mencapai USD 361 Juta. Dengan Tax Rate 20%, maka NPAT mencapai USD 289 Juta.

Apabila kita memakai Net Income Margin yang sama (18.7%, sangat impresif) maka di tahun 2020, berarti nilai penjualan Target Group ini akan mencapai USD 1.54 Milyar. Atau, naik 189% dari nilai penjualan Target Group tahun 2019 (USD 534 Juta). Adanya kenaikan penjualan 189% merupakan berita yang luar biasa, apapun jenis perusahaan itu. Itulah sebabnya, sekali lagi, saya sangat tertarik untuk mengikuti apa yang menjadi penyebab dari kenaikan nilai penjualan serta laba yang sangat luar biasa dari Target Group ini. 

Namun demikian, karena saya tidak mempunyai data-data yang lebih rinci, perhitungan-perhitungan ini sangat kasar,  atau ballpark figures. Mereka yang memiliki informasi lebih lengkap, tentu dapat melakukan perhitungan dengan lebih baik.

JADI, BAGUS ATAU JELEK AKUSISI INI BUAT ICBP?

Dalam banyak kesempatan, saya sudah menyampaikan, masih relatif kecilnya Market Cap emiten di BEI, membuat kita masih dapat dengan mudah menunjuk siapa yang memiliki emiten itu. 

Group Djarum, misalnya, masih sanggup untuk bisa “menguasai” BCA, yang Market-Capnya “hanya” USD 44 Milyar. Namun siapa yang dapat “menguasai” JP Morgan, dengan Market Cap sekitar USD 310 Milyar?

Anda tahu siapa yang punya JP Morgan, atau Apple dan Microsoft? 

Berbagai contoh lain, dengan mudah menunjukan begitu longgarnya kepemilikan saham di developed market, dibanding dengan emerging market seperti Indonesia. Oleh karena itu, activist investors di pasar Amerika, yang hanya punya 1-2% saham saja sudah bisa mengganggu manajemen, karena loose-nya kepemilikan saham. 

Hal  berbeda terjadi di BEI. Founding-shareholders masih menguasai mayoritas kepemilikan saham. Manajemen tidak mungkin untuk bisa memiliki pandangan lain, kecuali mengutamakan kepentingan pemilik saham mayoritas. Apa yang ingin mereka lakukan, pasti akan ditindak-lanjuti oleh manajemen. Pemegang saham publik juga tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Indofood CBP, 80% sahamnya dimiliki INDF, sehingga hanya 20% saja saham yang berada di tangan publik. Jumlah pemegang saham publik, dengan status perorangan, ICBP ada sekitar 4,600 orang. Jangan bilang banyak (tahun 2019, ada 12.5 Milyar bungkus mie instan dikonsumsi masyarakat Indonesia). Selain cuma 4,600 orang, individual investors ini juga hanya menguasai 0.22% saham ICBP. Bagaimana mau memiliki suara yang berarti?

Oleh karena itu, dalam pandangan saya, akusisi ini tidak ada yang bisa menghalang-halangi, kecuali kalau ICBP gagal mendapatkan pinjaman untuk melakukan akuisisi ini. 

Dengan demikian, akusisi itu harus kita perlakukan sebagai “a given factor”. Kita hanya bisa menghitung-hitung dengan informasi terbatas apa dampak akusisi, dengan nilai yang sudah disepakati, atas prospek dan gambar ICBP di masa datang.

Berbicara tentang prospek, saya kira tidak ada yang tidak sependapat, bahwa pertumbuhan pasar Target Group  ini memang sangat menarik. Namun, Anda tidak bisa bertanya, “mengapa ICBP tidak mulai saja dari awal melakukan penetrasi di pasar Target Group ini?”. 

Nilai akusisi sebesar USD 3 Milyar – yang saat ini menghasilkan angka penjualan USD 534 Juta dan attributable NPAT USD 42 Juta – memang seperti dikatakan manajemen, dilakukan di market yang masih dalam tahap awal pertumbuhannya. 

Tentu akan merupakan pertanyaan menarik, capital deployment yang mana yang dapat lebih meningkatan added-value untuk perusahaan.

Saat ini, ICBP memiliki modal sebesar Rp 26.7 Trilyun (USD 1.8 Milyar). Angka ini sekitar 60% dari harga akuisisi yang sudah disepakati (USD 3 Milyar). Dengan modal yang hanya 60% dari harga akusisi, ICBP dapat menghasilkan nilai penjualan sekitar USD 2.8 Milyar, atau 5 kali lebih besar dari yang diproyeksikan Target Group melalui akusisi ini.

Apabila hanya melihat hal ini saja, maka memilih melakukan capital-deployment sendiri tentu lebih menguntungkan. Namun seperti telah disinggung di atas, sudah ada tapak Anthony Salim di berbagai negara itu, sehingga tidak mungkin manajemen (dimana AS juga Presdir-nya) melakukan penetrasi yang sama, dengan memakai bendera ICBP dan bersaing dengan Target Group di kawasan yang sama. Mengambil-alih dan melakukan akusisi menjadi satu-satunya pilihan, bagi ICBP masuk ke negara itu. Kembali lagi, hal ini sudah menjadi “a given factor”.

GAMBAR ICBP SETELAH AKUISISI

Dalam 5 tahun ini, Sales ICBP tumbuh dengan CAGR 7.4%, namun EPS-nya tumbuh lebih baik dengan CAGR 13.86%. 

Seperti digambarkan di atas, “guaranteed profit” yang dipakai didalam akuisisi ini – dalam pandangan saya, yang tidak mempunyai informasi lebih rinci – merupakan angka yang sangat optimistis. Penjualan naik 3 kali lipat, begitu juga labanya. 

Meskipun sangat sulit dipahami, maka buat kepentingan perhitungan semata-mata, kita bisa mempergunakan informasi itu.

  1. Sales perusahaan diperkirakan mencapai Rp 67 Trilyun, dimana kenaikan angkanya berasal dari kombinasi pertumbuhan organic dan konsolidasi angka penjualan Target Group.
  • Adanya tambahan pinjaman baru sebesar Rp 40.5 Trilyun untuk akusisi ini, akan meningkatkan DER perusahaan (yang posisinya negatif, karena saat ini kondisinya Net Cash). DER diproyeksikan berada di kisaran 120-125%.
  • Pinjaman untuk akuisisi sebesar USD 2.7 Milyar, sampai saat ini masih belum diketahui dalam instrumen apa, kreditornya siapa dan pricing-nya seperti apa. Dugaan saya, dengan melihat jenis akuisisinya, mungkin akan dibiayai dengan Bonds. Jika mengacu kepada bonds terakhir yang dikeluarkan Hutama Karya maupun Mandiri, kupon-nya sekitar 3.75%. Dengan demikian, maka akan ada komponen biaya bunga sekitar Rp 1.5 Trilyun di tahun 2020. Adanya tambahan biaya bunga ini, berhadapan dengan kenaikan laba (“guaranteed profit”, Rp 1.9 trilyun). 
  • Kombinasi antara kenaikan penjualan post-akusisi, yang disertai kenaikan laba, baik generik maupun dari hasil akusisi dan adanya biaya bunga, maka laba ICBP tahun 2020, diperkirakan mencapai angka Rp 6.8 Trilyun (EPS Rp 540). Sekali lagi, saya mengingatkan bahwa ini merupakan perhitungan yang sangat kasar, atas dasar ballpark figure, dan sangat optimistis (berdasarkan angka-angka yang ada dalam proposal akuisisi).

Masih tersisa sejumlah pertanyaan, karena akusisi sudah merupakan “given factor”, mengapa akusisi ini menggunakan pinjaman dan bukan penerbitan saham baru? Untuk sementara, hal ini bisa menjadi diskusi internal saja. Kombinasi low-interest rate environment, serta kondisi pasar yang sedang tidak favorable, bisa dipertimbangkan untuk alasan sementara ini. 

Salim Group, sebelum terjadinya krisis tahun 1998, merupakan pelaku bisnis #1 di Indonesia. Adanya akuisisi ini, bisa kembali menempatkan Group ini sebagai pelaku bisnis terkemuka di Indonesia. ICBP di tahun 2010, masih berada di luar Top-10 Market Cap di BEI. Saat ini, bersama sama TPIA dan BRPT (yang juga belum muncul di Top 10 tahun 2010), ketiganya masuk sebagai bagian dari Top-10. Dalam pandangan saya, jika akusisi ini dilakukan melalui right-issue, peningkatan Market Cap ICBP akan lebih cepat dibandingkan dengan memanfaatkan pinjaman dari Bank. 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Post