CATATAN 31 JANUARI 2022 – EMITEN DI BEI YANG BERPOTENSI MENJADI TURNAROUND

Mon, Jan 31 2022

Berbeda dengan apa yang yang dikatakan Buffett di atas, menariknya peluang turnaround play telah membuat Peter Lynch menempatkan turnaround play sebagai kategori investasi sendiri.

Turnaround play berbeda dengan cyclical stocks, yang pemulihannya melalui kenaikan harga produk-nya seperti yang saat ini terjadi di commodity stocks. “Kandidat”dari turnaround play, lazimnya berasal dari emiten yang menghadapi permasalahan besar dalam hampir setiap lapisan operasinya. Besarnya skala permasalahan operasi dan finansial yang dihadapinya, bahkan membuat perusahaan itu sudah berada di tepi jurang kebangkrutan.

Buffett menyampaikan hal ini di tahun 1979, dengan memakai Waumbec Mills, perusahaan textile yang dibelinya, sebagai contoh tentang “turnarounds” yang “seldom turn” ini. Waumbec menambah catatan buruk dari bisnis textile – termasuk Berkshire Hathaway sendiri – yang dialami Buffett. Oleh karenanya, dia menambahkan, “…energies and talent are much better employed in a good business purchased at a fair price than in a poor business purchased at a bargain price”.

Hal berbeda dialami oleh Peter Lynch. Turnaround di saham Chrysler yang ada di portfolionya, menjadi salah satu hasil terbaiknya selama dia menjadi Fund Manager di Fidelity. Hanya dalam 2 tahun sejak dia membeli Chrysler, saham ini naik 500%. Kenaikan terus berlanjut, menjadi 15 kali lipat dalam waktu lima tahun. Pembelian yang dilakukannya di awal tahun 1982 itu, bukan di harga terendah saham ini.

Kenaikan tajam Chrysler, sempat menjadikan saham ini setara 5% dari total portfolio. Berbeda dengan Buffett, yang portfolionya sangat terkonsentrasi, keranjang portfolio Peter Lynch berisi puluhan saham. Dengan demikian, angka 5% di satu saham, menjadi sebuah pengecualian.

Meskipun Peter Lynch juga menyebut banyak “turnarounds” yang gagal, Chrysler yang adalah cerita sukses dari model “bail-out turnaround”. Suntikan dana yang dilakukan pemerintahan Carter saat itu, menjadi kunci terjadinya turnaround di Chrysler. Sebelum injeksi dana dilakukan, Chrysler berada pada posisi mengkhawatirkan. Selain tidak mampu membayar kreditor dan pemasok, Chrysler juga memiliki masalah inventory berlebihan dan harus banyak menghentikan karyawan.

Booz Allen – advisor yang diminta untuk membantu Iacocca, CEO Chrysler saat itu – menulis “A Booz Allen team had 2 weeks to evaluate the company’s plan. But Chrysler had no plan. Its leaders seemed to think the money alone would suffice. Nor anyone – except for Iacocca – want to hear about change”. 

GMFI, pada saat IPO lima tahun lalu, 2017, di Annual Report-nya menyebutkan bahwa IPO dilakukan untuk menunjang pertumbuhan, dan “ekspansi bisnis menuju visi Top 10 MRO in the World pada tahun 2020”.

MRO (Maintainance, Repair, Overhaul) – yang menjadi bisnis GMFI – adalah pick & shovel opportunity dari industri penerbangan. Di JSP ada contoh pick & shovel opportunity, seperti HEXA dan CVEO yang bisnisnya sangat dipengaruhi kegiatan di sektor pertambangan. Pick & shovel opportunity ini balaisa lebih menarik, karena lazimnya tidak mendapat perhatian seperti sektor utamanya – yang menjadikan harganya (valuasinya) tidak berlebihan.

Anjloknya industri penerbangan. berdampak langsung terhadap GMFI. Lebih buruk lagi, Garuda yang menguasai 90% saham GMFI, juga menjadi customer terbesarnya. Lebih dari 60% Revenue GMFI ini berasal dari Garuda, yang saat ini kondisinya bahkan lebih buruk dari GMFI. 

Pandemik Covid, telah membuat GMFI menulis dalam Annual Report-nya di tahun 2020, “Merangkul Realitas Baru”. Apa yang ditulis di Annual Report tahun 2017, menuju “Top 10 MRO in the World pada tahun 2020” tinggal menjadi harapan. Ini adalah situasi yang harus dihadapi Perseroan dalam masa yang penuh ketidak-pastian. Pendapatan perseroan mengalami penurunan, dari berhentinya operasi maskapai penerbangan. Perusahaan mengalami tekanan arus kas, yang menjadikannya dalam posisi yang sulit dalam menghadapi kreditor, suppliers dan pembayaran karyawan.

SALES GMFI (Dalam Juta Dollar)
LABA (RUGI) GMFI (Dalam Juta Dollar)

Sales tahun 2020, sebesar $ 253 Juta, turun lebih dari 50% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika kita melihat LK III/2021, nilai penjualan FY tahun 2021 masih belum menunjukan kenaikan. Tahun 2020, hanya dalam 3 tahun setelah IPO, perusahaan harus mencatat kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan, sebesar $ 328 Juta. Kerugian sebesar ini, praktis menghilangkan modal perusahaan, dan membuat Modal tercatat Negatif. Tidak ada modal lagi yang dapat mendukung berlangsungnya hidup perusahaan.

Ketergantungan bisnis perusahaan kepada Garuda, menjadikan komponen Fixed Cost perusahaan ini sangat tinggi. Kedatangan Covid mempercepat terbukanya gambar buruk ketergantungan bisnisnya itu. Dapat dimengerti, jika manajemen melakukan langkah diversifikasi untuk tidak lagi mengandalkan Garuda, baik untuk revenue stream-nya maupun dalam posisinya sebagai pemegang saham.

Untuk mereka yang ingin melihat lebih jauh langkah apa yang dilakukan perseroan, bisa melihatnya di website GMFI, yang secara rutin melaporkan upaya diversifikasi ini. Selain itu, bisa juga membacanya di Public Expose GMFI terakhir, Agustus 2021.

Perlu dicatat, bahwa dampak dari upaya perusahaan untuk mengurangi ketergantungannya dari bisnis Garuda, dan diversifikasinya ke sektor Cargo, Private Jet, Sektor Pertahanan, Turbin Gas, sejauh ini masih belum secara komprehensif bisa ditunjukan perusahaan. Namun demikian, “bersih-bersih” yang dilakukan tahun 2020, dan efisiensi di tahun 2021, dapat menurunkan besarnya kerugian perusahaan secara signifikan di tahun 2021.

Perkembangan baik ini, belum dapat menghilangkan buruknya kondisi struktural GMFI. Kelangsungan hidup GMFI, dengan modalnya yang negatif, saat ini bergantung kepada pinjaman Bank. Di akhir Kw-3, jumlah pinjaman sudah mencapai $ 419 Juta. Pinjaman dengan jumlah sebesar ini, jelas merupakan angka yang tidak sustainable bagi perusahaan. Bahkan di tahun IPO, 2017, dengan angka penjualan masih normal, hampir dua kali penjualan saat ini, CFO sekitar $ 17 Juta.

Seperti disampaikan di atas, Covid hanya mempercepat terbukanya kondisi buruk perusahaan, yang sangat tergantung Garuda. Covid juga membuka buruknya strategi IPO yang dilakukan GMFI di tahun 2017. Skema IPO yang sangat buruk itu, saat ini membuat ketergantungan hidup perusahaan sangat tergantung kepada dana pinjaman.

Misi yang dicanangkan perusahaan saat IPO, menjadi “The World Top 10 MRO”, tidak ditunjukan pada IPO yang dilakukan GMFI. MRO players di kawasan Asia, seperti HAECO (Group Swire Pacific, HKG), sales-nya tahun 2018 tercatat $ 10 Milyar. Dua perusahaan Singapore di sektor ini, ST Aerospace dan SIA Engineering, mencatat penjualan masing-masing $ 6.7 Milyar dan $ 1.02 Milyar. Sementara AFI-KLM, yang merupakan partner GMFI selama ini, berdasarkan data yang sama dari Market Research Report, mencatat nilai penjualan $ 4.34 Milyar.

Apa yang dilakukan GMFI untuk menjadi The World Top 10 MRO, dengan sales-nya yang hanya $ 470 Juta saat IPO itu? GMFI menjual 10% (!) saham di harga IPO Rp 400, dan menghasilkan dana setara $ 85 Juta. Dengan angka pinjaman saat itu sebesar $ 135 Juta, sebagian dana IPO sekitar $ 36 Juta dipakai melunasi hutang, dan $ 49 Juta untuk membiayai kegiatan usahanya.

Can we imagine, apa yang dapat dihasilkan dari dana hasil penjualan kepemilikan saham sebesar 10% itu, untuk bisnis seperti GMFI? Bagaimana caranya dana sekecil itu memungkinkan GMFI  untuk dapat mendekati angka penjualan HAECO, ST Aerospace atau SIA Engineering?. Untuk GMFI bisa membuat angka sales naik $ 254 Juta, dari $ 185 Juta (2011) ke $ 439 Juta (2017), modal GMFI didalam periode harus dinaikan $ 245 Juta, dari $ 60 Juta (2011) ke $ $ 305 Juta (2017). Hampir 1 berbanding 1, belum lagi kalau ditambah kenaikan hutang. Dengan demikian, dana IPO sebesar $ 85 Juta itu, at best hanya bisa meningkatkan Sales sekitar $ 85 Juta saja. Bagaimana mungkin menjadi The World Top-10?

Tidak heran, tidak sampai 6 bulan setelah IPO, GMFI sudah merencanakan untuk segera melakukan private placement di awal tahun 2018. Ganjilnya pikiran manajemen IPO saat melakukan IPO di tahun 2017, dilanjutkan dengan apa yang akan dilakukannya melalui rencana private placement yang gagal di awal tahun 2018. GMFI menyebutkan, bahwa private placement itu akan dilakukan dengan menjual 10% saham kepada strategic partner.

Bagaimana mungkin, ada strategic partner yang bersedia membeli dengan hanya boleh memilikii 10% saham? Suara apa yang dapat disampaikan straegic partner itu, menghadapi Garuda di kandangnya sendiri, yang memiliki 80% saham, dan saham publik 10%?. Bahkan tambahan yang ditawarkan untuk strategic partner itu bisa membeli 10% saham Garuda, masih menempatkan Garuda sebagai pemilik mayoritas dengan kepemilikan 70%, publik 10%, dan strategic partner 20%. Dan mereka tentu saja tahu, apa yang selama ini “mampu” dilakukan Garuda. Tidak heran, jika private placement yang tidak masuk akal sehat ini juga gagal.

Upaya private placement yang dijajagi awal tahun 2020 juga gagal, dan akhirnya dibatalkan pada akhir tahun 2020. Buruknya strategi IPO GMFI di 2017, telah menjadikan gelembung hutang GMFI (sebelum pandemik datang) semakin besar. Kenaikan Piutang Dagang, Persediaan dan Fixed Assets dalam dua tahun setelah IPO, semuanya harus dibiayai pinjaman, dengan kecilnya IPO yang dilakukan. 

Ambisi besar itu tidak didukung perangkat dasar yang memadai. Hanya dalam waktu 2 tahun (sekali lagi, sebelum pandemik) hutang GMFI bertambah sekitar $ 154 Juta, atau dua kali dana IPO di tahun 2017, yang diperoleh GMFI. Bahkan hanya untuk dapat meningkatkan penjualan yang normal saja,  GMFI paling sedikit harus melepaskan saham sebanyak 30%, bukan hanya 10%. IPO yang dilakukan tidak memperbaiki struktur permodalan. Dan 30% itu di harga IPO saat itu, Rp 400. Saat ini harganya sudah di bawah 100. Pandemik membuat angka hutang semakin besar, dan modal menjadi negatif. In short, GMFI dalam kondisi depressed. Dengan pinjaman yang berasal dari BUMN, mungkin benar prospek kebangkrutan bisa disingkirkan saat ini. Namun hal ini tidak mengubah posisi GMFI sekarang ini yang dalam kondisi depressed. 

Oleh karena itu, turnaround GMFI hanya mungkin terjadi, jika 1) ketergantungan kepada bisnis Garuda dapat dikurangi, melalui diversifikasi dan 2) struktur keuangan yang buruk ini harus segera diperbaiki. 

Untuk langkah pertama, beberapa insiatif yang dilakukan GMFI di sektor pertahanan melalui kerjasama dengan Collins Aerospace merupakan inisiatif yang baik. Collins merupakan subsidiary dari Raytheon Technologies, salah satu perusahaan terbesar sektor pertahanan/militer di Amerika. Langkah ini dapat memastikan kualitas service yang bisa diberikan GMFI untuk Departemen Pertahanan. Inisiatif ini bisa menjadi pendukung inisiatif diversifikasi lainnya, seperti penjajagan service gas turbin, pengangkutan cargo, dan MRO untuk maskapai di luar Garuda.

Untuk yang terakhir ini, sejumlah data yang telah menunjukan sudah mulai pulihnya kembali industri penerbangan, bisa mendorong akselerasi di atas.

Oliver Wyman’s Global Fleet and MRO Forecast 2021 – 2031 melaporkan, hanya ada 13,000 fleet yang beroperasi saat Covid datang, dan membuat industri penerbangan berada di titik nadir, hanya sekitar 50% dari angka pre-Covid. Tahun 2021, jumlah fleet yang beroperasi sudah mencapai 23,700. Untuk tahun 2031, Wyman memproyeksikan jumlah ini bisa meningkat sampai 36,500. Namun, angka tahun 2021 dan 2031 ini angkanya masih di bawah proyeksi pre-Covid, yaitu 28,000 untuk tahun 2021, dan 39,000 untuk tahun 2031.

Dengan perkataan lain, pemulihan yang mulai semakin meningkat di pertengahan tahun 2020 ini, tidak dapat tumbuh sebesar kisaran proyeksi pre-Covid. Backlog (yang sudah dibuat, tetapi belum dikirim atau belum terjual) bisa membuat jumlah pesawat yang dikirim, lebih banyak dari jumlah pesawat yang diproduksi. Terjadinya ketidak-seimbangan ini, memerlukan perhatian produsen pesawat untuk dapat menimbang-nimbang realitas tentang penurunan demand, dan kebutuhannya untuk dapat memelihara pasokan produksi yang memadai.

Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap penurunan kebutuhan komponen dan spare-part. Dengan memakai LK GMFI terakhir, persediaan sudah hampir setara untuk kebutuhan sales satu tahun. Untuk MRO berkurangnya jumlah fleet tentu sama dengan berkurangnya pendapatan. Estimasi Nilai MRO di tahun 2021 kemarin, diperkirakan sekitar $ 60 Milyar, atau turun 33% dari angka pre-Covid. Penurunan angka penjualan GMFI lebih besar dari estimasi rata-rata, dengan besarnya ketergantungan kepada Garuda.

Meskipun proyeksi pertumbuhan tidak lagi sebesar proyeksi pre-Covid, namun sektor MRO di periode 2021-2031 diperkirakan masih bisa tumbuh dengan CAGR 3%. Pemakaian pesawat berbadan-lebar yang semakin banyak dilakukan oleh low-cost carrier, bisa menjadi faktor bagi terjadinya peningkatan demand.

Di tahun 2021, nilai MRO Global diperkirakan mencapai angka $ 68.4 Milyar. Dari angka ini, kawasan Asia Pacific (di luar China dan India) angkanya sekitar $ 11.3 Milyar, atau 16.5%. Di tahun 2031, nilai MRO kawasan Aisa Pacific di luar China dan India, diperkirakan naik 2 kali lipat menjadi $ 22.7 Milyar. Angka pertumbuhan ini lebih besar dari pertumbuhan Global, yang diperkirakan tumbuh 72% ke angka $ 117.7 Milyar di tahun 2031.

Hal ini bisa menjadi silver lining untuk GMFI, terkait langkah ke-2 tentang perlu segeranya memperbaiki struktur keuangan yang buruk, dengan mengundang strategic partner baru.

Kombinasi antara penurunan demand dalam jangka pendek, dan prospek pertumbuhan dalam jangka panjang, selalu menjadi ladang yang menarik untuk private equity investors. Dan, berdasarkan laporan Wyman, “interest in MRO is high”.

Diversifikasi serta kerjasama dengan Departemen Pertahanan, sangat memungkinkan adanya injeksi dana, dalam bentuk quasi-capital atau penyertaan modal pemerintah, sekaligus menggantikan posisi Garuda sebagai pemegang saham mayoritas. Tentu dengan perhitungan yang memadai, tidak seperti saat IPO, sehingga setiap Rupiah yang masuk dapat dikembalikan melalui peningkatan bisnis GMFI – yang tidak lagi tergantung Garuda. Model yang dilakukan Iacocca dan Booz Allen saat pemerintah AS melakukan bail-out Chrysler bisa dilakukan. Bail-out yang diinjeksi pemerintah bisa dibayar lunas oleh Chrysler di tahun 1983, atau 7 tahun lebih cepat dari yang direncanakan.

Selain prospek di atas, dengan kerjasama yang telah dilakukan AFI-KLM dan GMFI selama ini, posisi perusahaan kombinasi Air France-KLM yang merupakan MRO player di Eropa ini, juga memungkinkan mereka muncul sebagai strategic player, dan mengambil porsi saham Garuda di GMFI.

Tahun 2008, saat GMFI merencanakan untuk melakukan private-placement, mereka sekalipun tidak pernah menyebut ke-3 nama perusahaan, yang katanya siap untuk menjadi strategic partner. Dugaan saya, dengan kerjasama yang sudah dilakukan, dan masih berlangsung sampai sekarang ini, bisa jadi satu dari ke-3 nama itu adalah AFI-KLM. Namun dengan kecilnya porsi yang ditawarkan saat itu, yang sudah dijelaskan di atas, penawaran seperti itu tidak akan menarik untuk strategic partner.

Dengan posisi GMFI dan Garuda sekrang ini, pemegang saham mayoritas tidak memiliki pilihan terlalu banyak lagi. Manajemen sudah melakukan inisiatif yang dapat dilakukannya terkait masalah operasi. Tetapi masalah GMFI sudah berada di luar masalah operasi. Ini merupakan masalah pemegang saham yang harus diselesaikan di level pemegang saham (Garuda dan pemerintah). Pemerintah, lewat injeksi dana yang dilakukannya di Garuda, throwing good money after bad. Look what happened to Garuda.

Betapapun pandai dan baiknya manajemen, apa yang dilakukannya di business model yang memang buruk – seperti airlines – akan membuat mereka dikalahkan oleh business model yang buruk itu.

Melalui skema yang bisa dilakukannya dengan strategic partner, skema yang sama dapat memberikan hasil yang baik di MRO business model seperti GMFI – dengan diversifikasi dan menghentikan tingkat ketergantungan kepada maskapai yang bermasalah.

Saya berpendapat, pentingnya peranan MRO business yang dijalankan GMFI, tidak akan mendorong pemerintah untuk membiarkan masalah ini tergantung terlalu lama. Penyelesaian masalah dengan cara business-like bisa memberikan manfaat kepada banyak pihak.

GMFI memiliki potensi turnaround, berdasarkan sejumlah pertimbangan dan prospek pemulihan pada sektor ini. “Bail-out” yang tidak selalu berarti pemerintah harus menginjeksi dana, menjadi kunci untuk terjadinya turnaround ini. Oleh karena itu, dengan masih samar-samarnya penyelesaian di perusahaan ini, at best GMFI adalah spekulasi dalam turnaround play.

Namun, berbeda dengan IPTV, yang banyak “hantunya”, kecilnya kepemilikan publik di GMFI, sangat sulit untuk hantu itu melakukan hal yang sama di GMFI – tanpa bisa diketahui. Atas alasan itu, berbeda dengan IPTV, GMFI akan dimasukan dalam JSP, dengan alokasi dana 5%.

ACTION : Alokasi dana 5% ini, 2.5% diambil masing-masing dari 2 saham yang sekarang ada di JSP. Corporate governance kedua saham ini, KEJU dan BAJA, mendorong saya menurunkan alokasi dana di 2 saham ini. KEJU, pemilik saham mayoritas meminjam dana KEJU dan menggunakannya untuk kegiatan pada perusahaan lain, di luar KEJU, dengan TOC yang tidak memberikan hasil optimum bagi KEJU. Pemilik saham mayoritas BAJA, sangat amatir, dengan tindakannya yang tidak jelas terkait Right Issue, yang selama ini direncanakannya.

Risk untuk saham GMFI ini adalah sebesar 40%, yaitu persentase TS yang dipakai. Upside-nya akan sangat tergantung kepada langkah apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki struktur keuangan-nya yang buruk. Banyak opsi yang bisa dilakukan, namun bail-out (not necessarily injeksi dana) akan mempercepat terjadinya turnaround. Oleh karena itu, langkah langkah apa yang akan dilakukan GMFI akan menentukan, apakah posisi ini dipertahankan, atau dibuang di tengah jalan.ACTION : Alokasikan dana dengan maximum harga Rp 70, dan gunakan TS 40%. Jangan melakukan pembelian di atas 70. Jual 2.5% saham KEJU dan BAJA at Market, dan dananya digunakan membeli GMF

Related Posts